Matriarchal is Not Cracked

13.03 Krisna Savindo 0 Comments

Adaik nan indak lakang dek paneh, nan indak lapuak dek ujan,
(paliang-paliang balumuik dek cindawan)
Adat yang tak lekang oleh panas, yang tak lapuk oleh hujan,
(paling-paling berlumut oleh cendawan)


       Aku dilahirkan oleh insan yang berasal dari tanah yang menjunjung tinggi seorang perempuan sebagai Bundo Kanduang, namun aku dilahirkan di tempat yang jauh dari tanah tersebut, sehingga aku tak begitu tau dan peduli dengan budayanya, yang jelas aku dilahirkan di Negara yang memiliki Insan-insan yang berpengaruh besar terhadap berdirinya Negara ini, mereka berasal dari tanah dan ranah yang sama, namun yang terus menjadi pertanyaan ku apa yang membuat mereka bisa menjadi Insan-insan yang sangat dibutuhkan oleh Negara ini?

        Aku awalnya tak peduli dengan Matriarkat atau pun Patriarkat, yang aku tau dan pahami aku sebagai anak laki-laki bertanggung jawab besar terhadap saudara permpuan ku meski aku tidak akan mendapatkan apa pun, yang aku tau aku harus ikut suku dari Ibu ku, tidak peduli dan tidak penting apa alasannya, yang pasti itu sudah menjadi aturannya.

        Matriarkat Minangkabau sulit dimatikan. sejak 1820-an, orang Sumatera Barat telah terlibat dalam suatu pertikaian tiga arah antara Islam reformis, tradisi-tradisi matriarkat, dan apa yang kemudian menjadi progresivisme Eropa. Dialektik ini berfokus pada konsep rumah dan keluarga yang ideal. Islam reformis berkutat dengan definisi kehidupan sehar-hari dan rumah di kalangan penduduk kampung sejak pertengahan abad ke 18. Kolonialisme, dengan tujuan memperluas basis pajak dan kerja paksa, kepentingan mengontrol keluarga dan populasi. Negara-negara kolonial, khususnya luar biasa berhasil dalam membongkar adat istiadat matriarkat. Di Asia Selatan dan Tenggara, dua Msyarakat Matrilineal yang ada di Karela di India dan Negeri sembilan di Malaysia di dorong oleh negara britania, dengan reformasi legal, dan dengan membuat universal gagasan kemajuan dan modernitas yang menempatkan matriarkat sebagai anakronisme, sisa masa lalu yang kurang berkembang secara sosial. Orang Minangkabau di Sumatera Barat mersakan gempuran dahsyat Islam reformis ketat selama perang Padri neo Wahabi. Meraka juga mengalami kolonialisme intensif lewat sistem tanam paksa, sekolah-sekolah kolonial, peraturan-peraturan kesehatan , dan reformasi-reformasi legal. Belanda maupun Padri menyerang bentuk rumah gadang Minangkabau, adat pewarisan Matrilinear, dan tanpa di sadari penyerangan tersebut bukan memberikan kerusakan namun malah membangun dan membentuk keluarga Matrilokal. Akan tetapi Matriarkat Minangkabau masih tetap kuat hari ini. Sedikit yang aku ketahui tentang sejarah, yang aku tau ranah Minangkabau memiliki prinsip budaya Adaik basandi sara', sara' basandi kitabullah, adat berlandasakan syari'at, syari'at berlandasakan kitabullah, yang mana adatnya di sesuaikan dengan syari'at agama yang man syri'at tersebut berdasarkan oleh Al-Qur'an. penjelasan yang lebih spesifik adat artinya peraturan sandi landasan, Syara' bermakna Kumpulan hukum-hukum islam, kitabullah yaitu kitab-kitab allah yang di turunkan pada Rasul-rasul tertentu, yang mana definisi aturan-aturan yang di maksud, adat minang takluk di bawah syari'at islam yang di bawah Nabi Muhammad SAW. Melihat history selogan tersebut dideklarasikan di bukit Marapalam tahun 1833 yang terdiri dari empat komponen yaitu  kerabat kerajaan pagaruyuang sebagai kaum Adat, politisi padri sebagai kaum Cendekiawan, panglima anak buah harimau nansalapan sebagai kaum Parik tagak, dan kaum Agama dari seantero tanah minang. Awalnya hal ini menjadi yang membanggakan bagiku sebagai seorang muslim, namun bertambahnya pengetahuan terhadap Islam ada kontradiktf yang aku ketahui, bahwa dalam islam tidaklah sesuai dengan matriarkat, namun dengan kukuhnya selogan tersebut, dan juga bertahannya matriakat ini malah membuat pertanyaan-pertanyan baru yang harus aku ungkapkan, kenapa?.

        Otoritas-otoritas budaya Minangkabau menjadi bangga akan persistesi matriarkat. Para pakar Minangkabau, merayakan daya tahan alami yang tidak mengenal menyerah dari budaya ini, sebagai kunci memelihara adat. Namun proses memelihara adat tersebut bukan terletak atau berasal dari prtahanan internalnya, yang menjadikan unik secara paradocks, malah kelangsungan adat matrilinear dan matrilokal Minangkabau berasal dari eksternal yang ingin mematikan adat itu sendiri, yaitu perang Padri. Padri membuat para tradisionalis terpaksa merumuskan konsep konsep mereka akan budaya dan adat di hadapan dengan pertahanan-pertahanan retorik adat yang sudah terbukti manjur, orang Minangkabau mampu melawan Intrusi-intrusi kolonial kedalam rumah-rumah dan keluarga-keluarga mereka dari modernitas Universal.