Normality of Human Life Part I

11.27 Krisna Savindo 1 Comments

     Saya sendiri masih tercengang membayangkan anak yang berumur 15 tahun mencoba mencari jawaban atas satu pertanyaan yang sulit dimengerti dan dijawabnya, pertanyaannya "Siapa dirimu?" jika kita hanya memahami sebatas tekstual dan sebatas melihat dalam keseharian pastilah hanya sebuah nama yang akan muncul, kemudian, status, umur, anak dari sepasang kekasih, tinggal di daerah, jalan, no rumah, sekolah dan banyak lainnya.

     Tapi pertanyaan ini sangat bodoh, karena pertanyaannya dikirim seseorang melalui surat, dan di surat tersebut jelas ditujukan untuknya, lalu buat apa si pengirim bertanya lagi?

     Berangkat dari situlah anak berumur 15 tahun yang bernama Sophie Amundesen mencari jawaban pertanyan tersebut dalam "Dunia Sophie" Tunggu...!! saya tidak akan membahas Sophie.




     Manusia dalam penciptaan nya memiliki berbagai macam cerita dan pandangan, dalam Bibel adam yang hidup sebagai manusia pertama, diberikan pasangan yang bernama hawa yang tercipta dari tulang rusuknya, dan hidup dalam surga bersama, namun mereka melanggar sebuah larangan yang sudah diwanti-wanti sejak awal oleh penciptanya, tapi mereka melakukan hal tersebut, memakan buah yang ada di surga, akibatnya setelah itu di usirlah mereka berdua.

    Paham naturalistik dengan menganggap manusia bagian dari alam, sebab hanya menerima alam dan dunia indra sebagai realitas. paham ini datang menolak fenomena takhayul rasionalistik termasuk terhadap wahyu dalam bentuk apa pun diantaranya Darwin dan teori evolusinya.

     Mungki dulu banyak orang yang menerima teori nya tapi kini tidak, banyak yeng menentang dan membantah, dalam berjalannya waktu. 

      Seorang manusia ketika dia lahir, yakin lah bahwa dia tidak tau sama sekali harus melakukan apa, ya itu wajar, seorang manusia, pasti juga tidak mengerti untuk apa dia dilahirkan, lebih wajar lagi karna dia tidak tau apa-apa. Tapi dia harus menerima kenyataan kalau dia dilahirkan oleh seorang Perempuan dan Laki-laki yang tidak dia kenali, dan tidak dimintai persetujuannya atas nama yang diberikan kepadanya. Belum lagi kenyataan yang pahit lainnya yang harus diterimanya, terlahir dari keluarga, yang belum tentu sanggup untuk membiayai nya hingga dia besar nanti, hilanglah kesempatan menjadi kaya yang pertama.

     Dalam pertumbuhan manusia, pelan-pelan dia akan memiliki karakter sendiri, banyak yang mengatakan bahwa karakter berasal dari keturunan gen, namun bagi ku tidak, seorang manusia memiliki karakter dan sifat manusia itu terletak dengan siapa dia tumbuh besar. Teori adaptasi lingkungan.

      Simiskin pastilah tumbuh bersama kedua orang tuanya, sebab tak mampu untuk menggaji pembantu atu pengasuh anak. Maka miriplah sifat dan karakternya dengan kedua orang tuanya.

      Untuk yang lahir dari keluarga kaya, dia memiliki kesempatan besar untuk jadi orang kaya, tapi karna kesibukan dengan kekayaan keluarganya, kedua orang tuanya akan menggunakan jasa pembantu, atau pengasuh anak, maka berhati-hatilah, untung-untung dapat yang baik, kalau yang buruk, maka seperti merekalah karakter dan sifat anak tersebut. Kalau ingin lebih jelas, coba perhatikan saja.

     Ada yang harus kita pdahami bersama, bahwa sekolah atau pendidikan yang pertama adalah rumah, yang mana kedua orang tua memiliki peran penting dalam mengasuh dan mendidik anak-anaknya, sebab berangkat dari rumah lah kelak akan cerminan seorang anak akan tanpak dalam kehidupan sosialnya, baik dalam masyarakat, sekolah.

     Perlu perhatian khusus dalam melakukan pembinaan, mulai dari memberi masukan positif, cara berkomunikasi, tata kramah, sopan santun, dan banyak hal yang harus dimulai dari rumah. Banyak hari ini, orang tua melupakan tugas itu, mereka menganggap bahwa, ketika anak setelah dimasukkan ke sekolah, maka sekolahlah yang bertanggung jawab terhadap anak mereka. Sekolah memang memiliki kewajiban, dalam hal memberikan pembinaan tapi pembinaan tersebut tidak mendapatkan hasil yang instan, yang mampu memberikan perubahan yang signifikan terhadap anak.

       Dulu ada Taman Kanak-kanak sebagai pendidikan paling dini, kini sudah ada Play Goup, kemudia Sekolah Dasar, diikuti dengan sekolah pendidikan Ibtidaiyah Muhammaddiyah, untuk yang muslim, kemudian  Sekolah Menengah Pertama, atau MTSN, dilanjutkan  dengan Sekolah Menengah Atas atau MAN dan SMK untuk kejuruan. tingkat menengah atas menjadi sbuah proses di mana manusia ABG, mencari jati diri mereka, memanfaatkan situasi kondisi untuk berekspresi, ada yang liar dan brutal, ada yang lurus-lurus mengikuti aturan dan norma, dan ada jenis baru pada saat ini dikenal dengan ABABIL, jadi teringat sekomplotan burung, tapi ababil yang dimaksud di sini yaitu Anak Baru Gede Labil.

     Bagi ku tidak ada masalah apapun proses yang dijalani oleh seorang manusia dalam berekspresi mencari jati diri, yang harus diingat sejauh mana dan sampaikapan akan menjalaninya. Perlu ada nya deadline, atau perlu waktu untuk berhenti, pada waktu dan kondisi yang tepat.

     Sebenarnya ada yang ketinggalan, untuk mereka yang dikekang seperti di penjara dengan aturan-aturan yang ketat, ada beberapa pandangan mengenai mereka yang masuk dalam penjara tersebut. pertama karna terlalu nakal seorang manusia tersebut, kedua yang orangtuanya tidak mampu untuk mengurus nya, ketiga karna manusia tersebut yang menginginkan, dan yang terakhir, karna orang tua ingin anaknya belajar agama dan bisa mandiri. Tempat ini sering kita sebut dengan Pondok Pesantren, ada yang mode Salafi dan Moderen. Proses bagi mereka yang berada di tempat ini tidak jauh beda dengan mereka yang di luar, namun mereka akan banyak melanggar aturan dengan berekspresinya mereka.

      Kebebasan seorang anak dalam berekspresi, mencari jati dirinya harus tetap ada peran kontroling dari orang tua, agar fase ini dapat berjalan dengan baik, dan tidak kebablasan tanpa ada batas waktu, yang nantinya akan mengantisipasi larutnya hal-hal yang tidak diinginkan.

1 komentar:

Basic Social cultur of Indonesia

01.48 Krisna Savindo 0 Comments

     Pelangi indah karena warnanya, langit biru tanpa ada percikan awan juga tidak akan indah, air laut terlihat bening pasti dikatakan biasa saja, lukisan tanpa keanehan corak dan bentuk tidak akan dikatakan bagus, apa lagi aktifitas manusia yang semua sama pastilah membosnkan, menu makanan juga kalau itu-itu saja membuat tidak selera untuk makan, sama halnya dengan pakaian aturan, kepercayaan, pemahaman, termasuk budaya, agama. Tatkala negeri ini seragam, pastilah bukan Indonesia Namanya.
     Indonesia memiliki mayoritas agama Islam, walaupun bila dilihat kembali sejarahnya Islam datang ke Negeri ini setelah Negeri ini dikuasai oleh dua kerajaan besar, Sriwijaya dan Majapahit yang beragama Hindu dan Buddha, sedangkan Kristen dan Kong Hucu masuk setelah Islam, lalu ditambah dengan dengan munculnya aliran-aliran kepercayaan. Sementara, pluralisme budaya terwakili oleh budaya yang di sebut oleh Nurcholish Madjid, sebagai budaya pesisir dan budaya pedalaman. Budaya pesisir lebih menunjukkan ciri-ciri yang progresif, sedangkan budaya pedalamn mewakili budaya petani yang statis. Maka persoalannya menurut Nurcholish Madjid, adalah bagai mana umat Islam Mau Keluar dari budaya pedalaman dan mengakui pluralitas Indonesia.


       Berkaitan dengan hubungan Islam dan negara di era modern ada tiga pandangan,yaitu teokratis (Islam sebagai agama dan negara), sekuleris (agama dipisahkan dari negara, seperti di Turki), dan agamis/kultural/fiqih. Dua pandangan pertama bisa disebut dengan pendekatan ideologis dalam hubungan Islam dan negara. Pandanganpertama melihat bentuk negara teokratis sebagai bentuk negara ideal yang harus diperjuangkan, sedangkan pandangan kedua berjuang mewujudkan bentuk negara sekuler sebagai model idealnya. Kedalam pendekatan ideologis dapat ditambahkan kelompok komunis yang mendukung bentuk negara ideal sebagai komunis. Para pendukung pendekatan ideologis menghendaki terjadinya perubahan revolusioner terhadap bentuk negara yang dipandangnya belum ideal. Mereka tidak segan-segan
menggunakan kekerasan walaupun dengan mencari justifikasi dari sumber ajarannya masing-masing. Sedangkan pandangan ketiga dikenal dengan pendekatan fiqih dalam hubungan Islam dengan negara. Mereka memahami Al-Qur’an tidak mengandung “sistem” negara ideal yang harus diperjuangkan secara revolusioner, karena ajaran Islam bisa dijalankan dalam suatu komunitas dibawah kepemimpinan seorang ulama.
 

    Baginya Al-Qur’an hanya berisi pesan etis bagi berjalannya sistem pemerintahan yang efektif, dan bila Al-Qur’an menyebut suatu sistem maka hal itu dimaksudkan sebagai suatu contoh bagi aplikasi pesan-pesan etis saja.

     Problem atau masalah yang muncul baik itu masalah sosial maupun individual sangat mempengaruhi diantara keduanya. Masalah individual yang mempengaruhi masalah sosial atau sebaliknya. Dalam penanggulangan masalah-masalah yang muncul, David Mechanic menyebutkan coping capabilities (kemampuan-kemampuan menanggulangi). Salah satu dari teknik penanggulangan itu adalah escape mechanism (mekanisme pelarian diri), salah satu dari dimana mekanisme yang diaktualisasikan dengan mekanisme pertahanan ego disebut juga dengan self defense. 3 Pendekatan religius pun sering di gunakan, karena agama memang paling efektif untuk memanipulasi massa. Salah satu contoh dalam pemilu sering mempermainkan simbol-simbol keaagamaan untuk melestarikan penindasan. Ada pula agama dijadikan seseorang untuk alasan-alasan tertentu untuk membenarkan dirinya.

     Dari masalah-masalah yang muncul, sering terjadi perubahan dalam sosial masyarakat salah satunya terjadi perbenturan pola-poala hidup sosial di bagian tertentu. Maka yang diperlukan dalam perubaha masyarakat sekarang ini adalah :
  1. Pengertian akan hakikat perubahan zaman sekarang dalam dimensi global. Hal ini berkaitan dengan apa yg terjadi di dunia secara keseluruhan.
  2. Pengertian bagai mana memahami budaya bangsa sendiri, sehingga dapat diketahui lebih persis titik-titik singgung antara pola budaya nasional dengan pola budaya global.
  3. Akomodasi positif kepada perubahan, karena perubahan itu sendiri adalah sunnatullah dan kemestian.

     Sikap ini dapat dapat dikembangkan pada diri pemimpin dengan sikap terbuka, menghargai pendapat bebas berpikir positif, inklusivitik, didorong semangat kesatuan dan persatuan serta demokratis. Jika pemimpin sendiri sudah dapat mengembangkan sikap tersebut kedalam dirinya maka perubahan-perubaha dalam masyarakat akan sangat terdorong untuk menyebarluaskan sikap-sikap tersebut, di mana sikap-sikap itu kelak akan menjaga keseimbangan pada perubahan-perubahan yang terjadi pada masyarakat.

      Basis sosial yang multi religion dan multi cultural menjadi sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri lagi, memahami setiap sendi-sendi keberagaman menjadi sebuah keharusan dalam menjaga dan menyikapi membawa ke arah yang positif, bukan malah mempertentangkan, yang akan menimbulkan konflik-konflik yang sangat sulit diselesaikan, sehingga memicu perpecahan yang berlarut. Mestinya hal seperti ini sudah menjadi aktivitas yang di lakoni nenek moyang dalam menjaga Bumi Pertiwi, sehingga terwujudnya tatanan sosial yang rukun tanpa memaksakan ideologi satu sama lain, kepada yang lainnya.

      Progres ideologi kenegaraan tidak terkait, dengan hal-hal yang dapat memicu perpecahan, karna perpecahan, sangat memberi efek yang sangat besar terhadap persatuan dan kesatuan, jangan katakan nasionalisme itu ada dan jangan minta kita memilikinya ketika antara satu sama lain masih saja saling bermusuhan, karna nasionalisme tidak memandang suku agama etnis dan budaya.

Pluralisme Relegion

15.10 Krisna Savindo 0 Comments

     Pluralisme adalah kosakata yang belakangan ini kembali hangat dibicarakan di mana-mana. Kian lama pluralisme semakin dikenal masyarakat luas, bukan hanya karena sering ditulis di mediamasa populer, melainkan juga karna gencar dikhutbahkan di masjid-masjid menjelang sholat berjamaah Jum‟at, majelis taklim, pengajian reguler, dan, pada kuliah-kuliah singkat. Popularitas dan hingar-bingar perbincangan pluralisme ini kembali muncul ke permukaan menyusul peristiwa-peristiwa kekerasan baik terhadap individu-individu berpikiran progresif maupun terhadap kelompok-kelompok penganut aliran atau agama minoritas.


 
     Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional, 29 Juli 2005, menjatuhkan vonis keagamaan bahwa pluralisme, liberalisme dan sekuralisme adalah paham yang sesat dan menyesatkan, dan oleh karena itu harus dilarang. Tiga terminologi ini kemudian disebut dengan ungkapan peyoratif dan sarkastis: SEPILIS, kependekan dari sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.

     Menanggapi masalah SEPILIS terkhusus dengan pluralisme yang divonis haram oleh MUI akan menimbulkan sejumlah pertanyaan yang muncul. Apakah agama, khususnya islam, kompetibel pluralisme? Apakah islam mengapresiasi kemajemukan dan keanekaragaman keyakinan dan kehendak manusia? Para ahli dan tokoh agama pada umumnya merespons pertanyaan-pertanyaan ini dengan jawaban yang positif. Mereka mengakui dan percaya bahwa kemajemukan atau keberagaman manusia. Perbedaan-perbedaan manusia dan alam semesta adalah realitas yang tidak mungkin dimunafikkan oleh apa pun dan siapa pun. Akan tettapi, pertanyaan berikutnya apakah dengan begitu, setiap orang memiliki hak yang sama untuk dihargai dan dihormati? Dengan kata lain lagi, apakah masing-masing orang dengan seluruh perbedaan alamiahnya, seperti etnisitas, ras, keyakinan agama, pemikiran jenis kelamin, politik, dan budaya, diberikan hak untuk mengekspresikan eksistensinya dalam ruang kehidupan bersama, di beri ruang waktu dengan perlakuan dan kedudukan yang sama di depan hukum dan perundang-undangan negara? Pertanyaan lain yang lebih partikular dan sederhana, apakah mengucapkan salam atau “selamat” pada hari raya keagamaan, Selamat Natal, Selamat Imlek itu dibolehkan? Pertanyaan-pertanyaan yang muncul menghadirkan jawaban-jawaban yang beragam dan kontrovesial sebagian kaum Muslimin mengatak boleh sebagian yang lain mengatakan tidak boleh bahkan haram justru sangat negatif dan juga terlihat antipati.

     Dalam tulisan ini, penulis akan lebih mengkonsentrasikan pembahasan pada pliralisme agama dan tinjauan pandangan Islam. Menurut Asghar Ali, pada dasarnya tujuan pluralisme adalah persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), dan keadilan sosial (sosial Justice).

     Menurut Amin Abdullah, dalam konteks keIndonesiaan terlepas dari sejarah besar Pluralisme. Kerukunan antara Umat beragama sangat penting dan sangat di butuhkan bagi bangsa yang majemuk dalam agama seperti halnya Indonesia. Keanekaragaman agama yang hidup di Indonesia termasuk dalamnya keanekaragaman paham keagaman yang ada di dalam tubuh intern umat beragama adalah merupakan kenyataan historis. Jika toleransi dalam beragama tidak ditegaskkan, maka negara atau bangsa tersebuat akan menghadapi bebagai konflik antara pemeluk masing-masing agama dan dapat menyebabkan disentegrasi. Untuk memberi perhatian khusus kepada masalah kerukunan antar umat beragama, harus di upayakan untuk memahami masalah yang sebenarnya agar dapat menemukan cara untuk menciptakan kerukunan itu (jiak belum ada), atau membutuhkan serta mengembangkan (jika telah ada). Ada beberapa ayat yang secara tegas mengatur pluralisme agama yang menyebutkannya dengan jelas. Selain ayat Al-Quran surat Al-Kafirun, ada satu ayat lagi yang tegas-tegas menyatakan bahwa agama tidak bisa di paksakan kepada seseorang, yaitu Al-Baqarah: 256 yang artinya : “ tidak ada paksaan untuk memasuki agama islam. Sesungguahnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah. Karna itu siapa yang ingkar kepada thagut, dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”.

     Ayat di atas sebenarnya mengajarkan bahwa Allah telah menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah, atau lebih tegasnya mana agama yang benar dan mana agama yang tidak benar (yang dalam Al-Qur‟an disebut ajaran Thagut). Sesungguhnya misi islam yang paling besar adalah pembebasan. Dalam konteks dunia modern, ini berarti Islam harus membebaskan manusia dari kurungan aliran pikiran dan filsafat yang menganggap manusia tidak mempunyai kemerdekaan, demikian menurut Kuntowijoyo. Dengan visi teologis semacam itu, islam sesungguhnya menyediakan basis filsafat Untuk mengisi kehampaan spritual yang merupakan produk dunia modern.

     Dari kacamata Islam, kemajemukan adalah sunnatullah (hukum alam). Masyarakat yang majemuk ini tentu memiliki budaya dan aspirasi yang beraneka, tetapi mereka seharusnya memiliki kedudukan yang sama, tidak ada superioritas antara satu suku, etnis atau kelompok sosial dengan lainnya. Mereka juga memiliki hak yang sama untuk bepartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Namun kadang-kadang perbedaan ini menimbulkan konflik di antara mereka. Maka sebuah upaya untuk mengatasi permasalahan ini dimunsculkan konsep atau paham kemajmukan (pluralisme).

     Kata pluralisme terdiri dari dua suku kata yaitu Plural yang berarti jamak; lebih dari satu,9 dan isme sufik pembentuk nomina sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pluralisme berarti keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya).

     Dalam kaitannya dengan pluralisme, islam sangat menekankan pada dua aspek dasar, yaitu :
1. Kesatuan manusia (unity of mankind)
2. Keadilan di sumua aspek kehidupan.
Keadilan ini tidak akan tercipta tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah dan marjinal dari penderitaan, serta memberi kesempatan kepada mereka untuk menjadi pemimpin. Menurut pendapat Muhammad Quttub, Islam memberikan hak-hak yang penting terhadap semua orang tanpa perbedaan apapun. Islam menyatukan semua jenis karena pada hakikatnya mereka sama-sama manusia dan juga menjamin kebebasan mutlak untuk memilih agama di bawah penjagaan dan perlindungannya.

     Selanjutnya harus disadari juga tentang kerelatifan suatu pandangan theologis. Pandangan seseorang tentang pemahamannya mengenai suatu agama, tentunya akan diakui orang yang bersangkutan sebagai yang paling tepat dan paling benar mengenai agama itu.13 Tetapi, sebagai entitas mengenai entitas yang lain, maka tidak masuk akal untuk melihat keduanya sebagai yang sama dan bisa saling tukar. Jadi, pemahaman seseorang atau kelompok tentang suatu agama bukanlah berarti senilai dengan agama itu sendiri.

      Hubungan antara agama Kristen dan agama-agama lain merupakan salah satu persoalan pokok dalam pemahaman diri orang kristen. Menurut pendapat Stanley Smartha sendirin yang dibesarkan dan hidup di India dimana orang kristen merupakan minoritas kecil di tengah-tengah budaya hindu yang dominan, komitmen Kristen yang sejati, katanya, bergantung pada inti iman tanpa menutup diri terhadap lingkungan disekitarnya. Beberapa pintu harus dibiarkan terbuka agar angin segar yang dihembuskan Roh Kudus dapat masuk kedalam rumah Kristen, kadang-kadang dari arah yang tak terduga. Menurut Samartha, masalahnya ialah orang-orang Kristen terus-menerus salah mengartikan keterbukaan dengan kenisbian semata-mata atau sikap netral. Kembali di tegaskan untuk mengakui fakta Pluralisme agama, sebagai mana Allah mengambil resiko dengan menjadi manusia, demikian pun orang-orang kristen tidak boleh takut hidup di tengah-tengah pluralisme agama.

    Kita tinjau juga agama Hindu yang memiliki sejarah panjang juga, sikap agama hindu terhadap agama-agama lain selalu tetap. Ada satu realitas ilahi yang mewujudkan dirinya dalam banyak bentuk. Bermacam-macam agama merupakan pewahyu-pewahyuan yang berbeda dari satu realitas ilahi itu. Dalam pengakuan-pengakuannya terhadap agama-agama lain sebagai wahyu-wahyu berbeda dari yang satu dan sebagai penyediaan jalan-jalan berbeda yang dengannya kaum beriman dapat mencapai pembebasan dari karma-samara ini, agama hindu melihat dirinya sendiri sebagai agama yang sangat terbuka dan toleran. Namun karna agama Hindu menegaskan Veda merupakan wahyu yang paling sempurna dari kebenaran ilahi, maka agama Hindu juga melihat dirinya sebagai pemberi kriteria yang harus di gunakan sebagai dasar untuk menguji wahyu-wahyu dari agama lain.

     Sikap toleransi kritis dan kesedian untuk menyesuaikan diri mewarnai agama Budha sepanjang masa. Dari reaksi Gotama sang Budha, terhadap bermacam keyakinan di sekitarnya, sampai denga perkembangannya di Cina dan Tibet, sikap terbuka namun kokoh inilah yang menonjol.

     Dari sedikit kutipan yang dapat di ambil dari beberapa agama mengenai Pluralisme sangat terlihat adanya harapan antara umat beragama memposisikan diri dalam pada pluralisme sendiri. Secara garis besar pengertian konsep pluralisme meminjam definisi yang dikemukakan oleh Alwi Shihab dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajmukan. Nasmun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajmukan. Pluralisme agama dapat kita jumpai di mana-mana. Di dalam masyarakat tertentu, di kantor tempat orang bekrja. Tetapi seseorang dikatakan menyandang sifat tersebut apa bila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan katalain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama di tuntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna terciptanya kerukunan, dalam kebinekaan.

2. Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita di mana anekaragam agama, ras bangsa hidup berdampingan disuatu lokasi. Sebagai contoh adalah kota New York. Kota ini adalah kota kosmopolitan, di kota ini terdapat orang Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang yang tanpa agama sekalipun. Seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama sangat minimal kalaupun ada.
 
3. Konsep pluralisme tidak dapat di samakan dengan relativisme. Seorang relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” di tentuakan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang dan masyarakatnya.

    Sebagai konsekwensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apapun harus di nyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama”, karna kebenaran agama-agama, walau berbeda-beda dan bertentangan satu dengan lainnya, tetapi harus di terima. Suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Namun yang menjadi persoalan adalah manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, dan ketika dalam sosial praksis akan menimbulkan dampak pada perubahan sosial.

     Teggart menegaskan perubahan sosial muncul dari perbenturan berbagai kelompok dari habitat yang berbeda-beda dan oleh karnanya memiliki sistem ide yang berbeda. Jika teggart mengasumsikan bahwa sejarah manusia hanya merekam sejumlah kecil situasi pluralistik yang stabil (yakni, sebuah habitat dengan beragam sistem ide), maka dia sangat mungkin benar.

     Menurut Iqnas Kleden, dikotomi yang dibuat sementara oleh pisikologi agama, antara agama sebagai agama, agama sebagai yang di hayati dalam kesadaran penganutnya, barangkali tidakakan diperhatikan dalam tulisan ini. Sebab bagai manapun agama sebagai entitasabstrak yang di lepaskan sama sekali dari kenyataan bagai mana dia dihayati menjadi sangat sulit di bayangkan. Sedangkan, bila agama di lihat sebagai suatu relitas manusiawi yang muncul sebagai akibat pergulatan manusia dengan seluruh lingkungannya yang berarti bahwa agama adalah suatu hasil kebudayaan juga, maka pengandaian agama sebagai entitas abstrak, adalah suatu pengandaian yang secara metodologis tidak berguna. Dengan itu dapat di katakan bahwa filsafat yang melihat agama secara ontologis tidak akan banyak membantu, mencari kemungkinan dialog antar agama. Sebab, ontologi lebih berhubungan dengan subtasnsi, unsur yang berdiri sendiri, yang berbedab dan tak tergantung kepada unsur lain, yang menyebabkan suatu itu ada dasar dirinya. Ontologi Justru mengandaikan dan menekankan distansi dan esensi yang mutlak dan karna itu ontologi merupakan otonomi yang tertutup.