Find Indonesia Lost

20.53 Krisna Savindo 0 Comments

    Pernah ada suatu kondisi sosial dalam suatu negeri dimana masyarakatnya hangat, ramah dan terbuka. Jauh dimasa lampau dari sekarang. Engkau bisa menemukan dimana masyarakatnya sudi dan ringan untuk menolong orang lain.

    Suasana pada zaman yang berbeda dimana anak-anak masih sangat ramai dan sering engkau temukan bermain keluyuran di jalanan, ditanah lapang, dihalaman rumah, ditanah yang kosong yang tidak terlalu dipenuhi rerumputan. Banyak anak-anak yang mengayun sepedanya berombongan menyusuri jalan-jalan besar, memasuki daerah-daerah yang jarang mereka datangi, mendaki bukit, menuruni lurah, dan beristirahat ketika lelah menghampiri, namun lelah tidak cukup dibayar dengan hanya sebatas meluruskan kaki, dahaga yang terundang oleh teriknya matahari menggerakkan hawa untuk bisa dapat lepas dari keringnya kerongkongan.

    Untuk saat ini siapa saja dapat membeli air dalam kemasan untuk melepas dahaganya, tapi tidak dengan mereka yang dulu masih serba keterbatasan. Anak-anak itu bukan tidak mampu membelinya, hanya saja pada masa itu mereka cukup mengetuk pintu rumah-rumah penduduk, dengan hormat dan sopan meminta secukupnya pelepas dahaga.
     Apakah mereka benar-benar mendapatkanya...?
Tentu saja mereka mendapatkannya, sebab mereka hidup jauh  pada zaman yang masih mengenal saudaranya dengan identitas orang Indonesia. Tapi tidak lagi saat ini, Indonesia itu kini telah hilang, tidak lagi kutemukan suasana sejuk penuh kehangatan itu yang dengan mudah engkau temukan sudut-sudut senyum yang tulus.

    Kehilangan yang dialami tentunya dapat dirasakan terhadap yang kita terima dan kita rasakan saat dimana kita berada, dan berdiri. Bertahun-tahun berlalu harus melewati masa-masa kehilangan suasana tersebut akan membiasakan siapa saja dengan kondisi yang dirasakan, dengan kata lain kita dibiasakan untuk menerima keadaan. Waktu yang mengajak kita untuk sadar bahwa masa-masa kondisi serupa itu hanyalah sebuah dongeng cerita masa kecil yang tidak akan didapati dalam realitas kehidupan saat ini.

    Namun oleh waktu pula yang membuat aku dapat kembali ke sebuah kota kecil yang kini telah dianggap menjadi dongeng. Waktu yang melemparkan aku kepada suatu kondisi hampa dimana tidak ada batasan waktu jadwal serta tugas yang harus diselesaikan, serta jauh dari kesibukan yang disebut orang banyak rutinitas.

    Waktu yang ku anggap telah kucukupkan sementara waktu menjalani pendidikan formal dan ku mulai untuk belajar pada kehidupan liar.
    Berjalan sendiri bertemankan keril, mencari teman baru dalam setiap perjalanan, bermodalkan tabungan selama kuliah, mental, dan hati serta diri kepada pemilik dari apa yang diciptakannya.

    Tepat masuk waktu isya aku dan dua temanku melambatkan sepeda motor hingga menepi disebuah warung, untuk beristirahat agar dapat bertanya kepada pemilik warung. Niat awal ingin menukarkan informasi dengan segela kopi yang hendak dibeli, namun apa daya diwarung itu tidak menyediakan yang kami inginkan. Niat harus dilaksanakan percakapan pun berlanjut hingga warung itu didatangi dua orang yang hendak mengambil titipan bahan bakar premiumnya karna tadinya hendak pergi kesuatu desa tak jauh dari pinggiran Kota Bajawa tersebut.


    Menyampaikan tujuan beristirahat malam itu di Kota Bajawa didengar oleh dua orang yang menjemput titipannya, tanpa sungkan mereka mencoba memulai percakapan.
          Dari mana sebelumnya dengan sepeda motor ini?
              Kami dari Labuan Bajo mas...
          Mau pergi kemana?
              Sebenarnya tujuan kami ke Ende, tapi malam ini rencana nginap disini dulu, jelas Akbar
          Nginap disini aja malam ini, jalanan memang aman tapi khawatir kecapean, bisa terjadi yang tidak diinginkan, saran bapak yang tampak paham dengan kondisi kami.

    Setelah memberikan saran, susul suara agak meragu diucapkannya, ia menawarkan untuk menginap dikantornya, karna dia juga baru dipindahkan dinas dari Pos Indonesia Cabang Ende.
    Mendengar tawaran tersebut kami saling pandang memandang, sorot mata berbicara dengan serentak, ini rezeki gak boleh ditolak. Belum sempat kami menjawab, Bapak yang menawarkan tadi menjelaskan lagi bahwa kondisinya seadanya karena tempatnya kantor.

    Merasa siap tempur dengan kondisi darurat apapun kami menerima ajakan tersebut. Selang menerima ajakan tersebut tak sedikitpun keraguan, tak ada tersirat khawatir dalam hati.
bisik-bisik dalam diri membayangkan, merajut ekspektasi kantor Pos dalam ruang imaginasi.

    Kami menyusuri jalanan yang juga dijalani oleh Bapak Pos, udara di Bajawa cukup dingin sebab untuk samapai di Bajawa kami harus menyusuri tepian bukit yang aku pikir aku melihat suasana senja yang sendu.

    Dalam perjalanan menuju kantor Pos muncul pertanyaan serta gerutu pada diri, sebab ekspektasi yang jaraknya dekat ternyata cukup jauh, hal ini disadari ketika sudah lebih dari 10 menit kami dijalan. Belum lagi selesai mengenai jarak, aku cukup terperangah dengan apa yang kulihat, ternyata kantor Pak Pos tidak seperti yang kubayangkan, ini bukan kantor dalam hatiku, ini kelas yang dipakai buat tempat kerja.

    Mengikuti alur tuan rumah yang mengajak kami keruangan lain, hingga dapat duduk dibagian dapur yang cukup luas dengan lantai semen yang sangat dingin disentuh oleh telapak kaki. Interaksi cerita bercerita perut sudah lapar, kami meminta izin untuk memasak makan malam, Pak Pos mempersilahkan sekaligus menjelaskan untuk nasi tidak perlu kalian masak, nasi disini banyak.

   Suasana malam itu menjadi hangat dengan seruput kopi setelah makan dan temannya. Tidak hanya itu, cerita panjang pengalaman dan masing masing menceritakan pengalaman, yang muda tentu lebih banyak bertanya kepada yang lebih berpengalaman. Waktu tidak akan pernah berlalu lambat saat engkau menggaulinya, larut hampir sampai pada puncaknya, malam semakin dingin jua, maka kami diajak untuk bersama-sama istirahat meluruskan  tulang punggung.

    Malam itu begitu hangat dan erat, kami diruangan sederhana itu bagaikan teman lama yang baru dapat bejumpa kembali, tak ada sekat, segan serta curiga. Suasana-suasana seperti itu aku dapatkan sepanjang perjalanan ku dari Labuan Bajo hingga Ende. Kisah ini adalah sebagian dari penggalan kisah dimana aku Menemukan Indonesia yang Hilang di Indonesia Bagian Tenggara Timur.


    Ada kerinduan ketika menulis paragraf demi paragraf diatas, semoga aku bisa kembali lagi dan bagi yang pernah merasa kehilangan masa yang dulu begitu hangat dan ramah, cobalah cari lagi masa-masa tersebut. Karena masa itu tidak pernah hilang, hanya tempatnya saja yang telah berubah. Tidak seorisinil Indonesia yang sesungguhnya.

     Tidakkah engkau rindu dengan masa dimana tidak harus kenal dengan orang yang anda ajak bercerita di tempat umum saat menunggu. Tidakkah tentram berada pada kondisi senyum itu gratis, tentram merasakan sapa dan tatap tanpa curiga dengan setiap orang yang tidak anda kenal. Nuansa menolong sebagai sebuah tanggungjawab sosial, yang ditolong tak sedikitpun curiga dan ragu untuk bersedia ditolong. Masa dimana semakin maju mewujudkan kemunduran budaya.

0 komentar: