Its Purely Indonesia

01.51 Krisna Savindo 0 Comments


      Adakah budaya ini akan tenggelam oleh westernisasi, atau terbenam layaknya matahari, sehingga harus menunggu iya terbit kembali.
     Negeri ini kaya, tapi kita yang memiskinkannya, apakah sadar atau tidak bahwa kita pelakunya. Dalam suasana dan akitivitas berinteraksi, dan bersosial kita tenggelamkan iya dalam lautan tak berdasar, padahal iya bagian ciri dan karakter bangsa ini. Sering kali dewasa ini kita tak sadar bahwa kita sudah kehilangan, ketika kehilangan disebabkan oleh dicurinya hal tersebut dari kita, maka seketika kita sadar, sadar hal tersebut sudah hilang dan dicuri, apa yang terjadi?

     Kita dengan serentak bersorak, menghujat dan protes kepada si pencuri, padahal seharusnya kita berterima kasih kepada mereka, karna mereka membuat mabuk kita hilang dan lansung sadar, terlebih mereka lebih mulia, karna mereka mau turun tangan dalam membantu ketidak mampuan kita dalam menjaga, hanya saja persoalan adanya mengklaim.

     Tapi sudahlah bukan budaya daerah tradisional yang ingin saya bahas, melainkan budaya sosial. Saya sendiri orang yang memiliki ingatan terhadap momen-momen tertentu dalam kehidupan ini, ingatan tersebut sangat kuat sehingga terkadang meulpaka hal-hal yang baru saja harus saya ingat. Saya mencoba menarik garis lurus atas kehilangan suasana yang pernah saya tulis mengenai Blood does not Bind, bahwa kita telah kehilanga jati diri, dalam kehangatan berwarga negara, yang sudah tidak lagi memiliki kepercayaan satu sama lainnya. Percakapan bersama teman saya dimas bahwa untuk di daerah perkotaan sudah hampir hilang, pastinya kita sudah merasakan sendiri dari sorotan mata individu dalam memandang, yang tidak memberi gambaran curiga terhadap orang lain, kita sendiri juga mendukung hal-hal sperti itu, karna sekali lagi sadar atau tidak, kita sendiri tidak memberi sorotan mata yang positif kepada orang lain, terlebih bagi orang yang baru dikenal, malahan sorotan mata yang penuh kecurigaan yang kita lepaskan. Bukan melarang tapi mencegah efeknya, di mana pada akhirnya sorotan tersebut akan membangun mental blok pada diri kita sendiri, yang berefek kepada kemunduran mental kita sendiri.

     Berangkat dari momen-momen yang belum saya lupakan, bahwa 10 samapai 15 tahun yang lalu, di lingkungan bertetangga rutin setiap minggunya masyarakat setempat melakukan aktivitas bersama, dalam menjaga lingkungan, masyarakat tersebut dengan ikhlas menunda aktivitas pribadinya demi menjaga tenggang rasa bersama dalam tatanan sosial lingkungan bermasyarakat. Kesadaran tersendiri yang menberikan momen tersebut lebih berharga di masa itu, tak perlu diajak tak perlu di suruh cukup diingatkan, semua bergerak, menjaga lingkungan, tak pelu adanya komando dari kepala lingkungan atau lurah, kepala desa dan sebagainya.

     Sebuah semangat akan memberikan energi yang positif bagi diri sendiri, yang mampu melampaui keterbatasan diri sendiri, sehingga dapat menjadi pemicu dalam menerjal semua halangan dan rintangan. Terlintas kembali pada suatu hari, setiap siswa diwajibkan untuk membawa beberapa peralatan untuk membersihkan lingkungan sekolah, para siswa dengan semnagat di pagi harinya, siswa yang memakai seragam pramuka dengan petentengan membawa alat-alat yang di tentukan, kesadaran dan semangat membantah hukum magnet yang saling tolak menolak ketika dua kutub yang sama bertemu. Semangat dan kesadaran menjadi energi yang besar menembus keterbatasan energi dalam beraktivitas. Juga kembali teringat, setiap senin sebelum upacara dimulai siswa harus membersihkan lapangan, hingga tak satu daunpun yang berada di tanah. Berjalannya waktu hal-hal sperti ini disapu oleh ombak,ombak perlahan-lahan membawa hal-hal yang berada di tengah ketepian sehingga pantai ditinggalkan karna hal tersebut sudah tidak menarik lagi.

     Kembali mengenang tempo doeloe, bahwa rutinita mingguan kegiatan masyarakat sudah menjadi budaya tiap minggunya, seingat saya dikota kelahiran saya sendiri setiap hari jum'atmasyarakat sekitar menunda kegiatannya untuk beraktifitas, baik yang berdagang atau berbisnis, pegawai negeri dan swasta,untuk para pebisnis, pengusaha dan pedagang, mereka pada umumnya menunda aktivitas untuk bekerja, mengedepankan kegiatan kemasyarakatan pada setiap hari jum'at, membersihkan lingkungan sendiri demi menjaganya, kebersihan dan kenyamanan lingkungan sendiri, kondisinya budaya ini sangat tinggi ketika itu, kenapa mereka mau menunda aktivitas dalam mencari uang, karena mereka malu apa bila toko, atau tempat usaha mereka pada hari jum'at sudah buka pagi-pagi di kala pada saat itu warga dan masyarakat sekitar, sibuk berGOTONG ROYONG.

     Begitu pula yang para pegawai, aturan oleh pemerintah dikhususkan untuk setiap hari jum'at lebih lambatnya untuk dapat masuk kerja, mungkin disaat kita berpandangan bahawa budaya ini lebih memiliki pendekatan terhadap program pemerintah. Melihat kondisi yang hangat saat itu, jelas bahawa katerkaitan norma pancasila jelas kaitannya akan peran pemerintah dalam memberi sebuah aturan bagi masyarakat dalam peran sebagai warga negara, untuk menjaga negaranya, agar dapat terciptanya lingkungan atau negara yang layak huni. Kasus nya saat ini kita sebagai warga negara hanya dapat menjadi biangkerok terhadap menumpuknya sampah di mana-mana yang berkibat pada segala aspek, baik dari kesehatan, maupun dari aspek, pencegahan terjadinya kondisi alam yang tidak diinginkan.

     Wajar saja kalau pada saat ini terjadi banjir di mana-mana, karena kita sendiri tidak lagi menjaga satu sama lain, masyarakat sudah lagi tidak mau menjaga, namun ingin dilayani saja untuk mendapatkan penanggulangan akan linkungan oleh pemerintah, sementara msyarakat sudah tidak berbuat apa-apa, terlebih lagi juga pada saat ini sudah di katakan bahwa pemerintah pun sibuk membuat kebijakan, yang membuat mereka berada pada posisi aman untuk mesejahterkan diri sendiri, tanpa melihat kondisi negaranya juga, mereka sudah tinggal di komplek-komplek mewah, yang sudah dirancang untuk selalu dapat bersih dan bebas banjir. Seharusnya sinergisitas antara pemerintah dan masyarakat seimbang dalam hal menjanganya.

    Kembali lagi melihat kenangan lama di Sekolah Dasar, setiap hari jum'at siswa siswi di wajibkan untuk datang ke sekolah untuk membawa peralatan kebersihan, untuk membersihkan sekolahnya sendiri, ada jam khusus untuk pembersihan, mulai dari mencabut rumput, menanam tumbuhan, membersihkan WC, parit, tempat sampah besar, dan banyak kerjaan lainnya untuk hari jum'at, pada awalnya memang sulit untuk dikerjakan, berat untuk melakukannya, mencuri-curi waktu untuk tidak bekerja, namun proses itu pada awalnya di paksa, kemudian terpaksa, selanjutnya terbiasa, kemudian membudaya, pada akhirnya penuh semangat untuk melakukannya.

   Saya sudahi untuk kembali kemasa itu, agar tidak menjadi romantisme belaka, karena kita juga perlu menyadari akan besar harapan untuk dapat mewujudkannya kembali, karena pada dewasa ini budaya ini sudah lekang oleh panasnya matahari, dan lapuk di basahi hujan, berlumut karna sudah cukup tua, stament ini pun muncul karena survei yang saya lakukan, bahwa persentasi yang masih melakukan GOTONG ROYONG di lingkungannya masing-masing sudah sangat sedikit, yang lucunya ada di sebuah daerah gotong royong di lakukan hanya ketika adanya pejabat atau kepala daerah yang akan berkunjung, bayangkan kalau mereka pejabat atau kepala daerah tidak ada yang berkunjung. heheheheheh.....

Optimisme yang saya miliki lebih terang dari cahaya yang menyengat mata, lebih sejuk dari embun pagi, lebih damai dari angin sepoi-sepoi, untuk menjaga budaya Daerah, dan sosial Budaya Indonesia.

Wonderfull Indonesia