The Slow Movement of Islamic Student Associations (Himpunan Mahasiswa Islam)

01.11 Krisna Savindo 0 Comments

     Barang kali menurut pembaca ataupun yang terkait saya salah memposisikan judul artikel ini, sebab slow movement yang saya maksud akan tampak apabila Himpunan ini diperbandingkan dengan banyak gerkan-gerakan komunitas serta gerakan-gerakan yang punya aksi langsung, maupun gerakan-gerakan yang dikampanyekan organisasi komersil untuk pemuda-pemuda yang cukup ulet dan berprestasi.

     Tentunya jika kita mau menerima kenyataannya pastilah dapat merasakan dua dimensi yang berbeda. Pertama ada gerakan langsung namun cukup tampak dinamis dengan gerakan yang memberi solusi pada masalah-masalah kecil kekinian yang cukup mendasar. Kedua ada gerakan yang tidak langsung, sebab gerakan ini memiliki proses sistematis, dan masuk dalam gerakan dinamis, hanya saja dalam perjalanannya belum mampu menjawab tantangan zamannya, gerakan kedua ini yang saya maksud dengan organisasi Himpunan Mahasiswa Islam disingkat HMI yang kini saya jadikan sekolah kedua saya.

    HMI sangat detail dan rinci dari segala sisi dengan sedemikian rupa dirancang, tampak dilihat dengan seksama saat memahami misionnya. Siapa pun yang mampu menyelami sedalam mungkin untuk memahami mision HMI ini pasti tak luput dengan kekaguman, dan saya sakin hanya orang orang yang berani untuk optimis yang mampu didatangi oleh kekaguman itu dan akan setia berada pada peta strategis mision HMI itu sendiri. Namun bagai mana dengan mereka yang tidak berani untuk optimis? Mereka akan menganggap hal tersebut menjadi sesuatu yang tidak mungkin untuk dilakukan, sehingga tujuannya dianggap tidak mungkin untuk diwujudkan.

     HMI punya Tujuan "Visi" yang sangat luar biasa jauh kedepan dan kongkrit beserta solusinya. Saya sampaikan hal ikhwal tersebut disebabkan begitu idealnya Masyarakat Adil dan Makmur yang diRidhoi Allah swt. Adil dalam arti kebenarannya yaitu Allah dan Makmur dengan arti seluas-luasnya. Namun hal tersebut tidak dituju begitu saja oleh mimpi dari organisasi HMI, Semua diyakini dengan harus adanya Insan Akademis, yang mencipta dan melakukan pengabdiannya kepada Allah dan seluruh makhluknya singkatnya harus ada manusia-manusia berkualitas insan cita terlebih dahulu, barulah dapat diwujudkannya Masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah swt.

     Tentang Visi of Future HMI tersebut sebagai fakta bahwa tidak dapat diwujudkan dengan instan, karena membutuhkan proses untuk mewujudkan pembinaan yang mengevolusikan manusia menjadi Insan, kemudian memastikannya menjadi khalifah fil ardi. Evolusi itulah sebagai proses yang diyakini HMI, dikarenakan membutuhkan proses, maka benar bahwasanya membutuhkan waktu.

     Bagai mana dengan dimensi pertama, yang mereka mencoba berkumpul dengan satu tujuan, meretas permasalahan, mereka berani maju hanya bermodalkan keinginan yang sama, dan mencoba merencanakannya dengan sessederhana mungkin dan melakukannya dengan simultan dan berkesinambungan, sehingga secara tidak langsung mereka belajar memahami dengan apa yang mereka lakukan. Sangat singkat waktu yang mereka butuhkan, mereka melakukan Revolusi, mereka memanfaatkan suasana demokrasi saat ini tanpa harus sikut sana sini. 

     Kenyataan ini bukan untuk mengajak ataupun mengarahkan untuk melakukan perubahan arus gerakan, cara bergerak, hal ini untuk membangun kesadaran kita bahwa ada waktu yang kita harus persingkat, persingkat untuk tidak kaku dengan apa yang kita lalui, tidak lagi berada pada arus putaran yang tak kunjung selesai, yang berputar-putar pada pemasalahan yang telah terjadi beberapa dekade, menghabiskan waktu pada permasalahan yang tidak kunjung berkhir, yang sengaja untuk diulang-ulang, sadarkah kita bahwa waktu yang terkuras tanpa makna, yang dianggap sebagai dinamika dan dinamika dianggap sebagai proses itu terlalu sia-sia jika seharusnya dapat kita gunakan dengan aksi nyata untuk perbaikan masalah yang lebih menyentuh masalah itu sendiri yang lebih memberi manfaat seperti mereka yang memberikan kerja nyatanya. Memanfaatkan waktu tersebut untuk memikirkan sebuah trobosan kecil saat ini yang berpengaruh besar dimasa depan.


     Jikalau kita berada pada kesadaran yang tepat pada titik itu, maka saya yakin kita berada pemahaman yang sama bahwa proses yang membutuhkan waktu tersebut dapat diringkas, dan dipercepat beberapa detik dalam setiap menitnya, memberikan percepatan untuk keinginan mencapai kemaslahatan yang menjadi Visi HMI kita.

0 komentar:

Hearts Choice - Choosing Hearts

17.23 Krisna Savindo 0 Comments

     Sudah sampai maksud dan tujuan, hati yang menangkap maksud tak ingin berlayar lagi, sebab telah ditemukan teluk tempat berlabuh, urung hati untuk mencari lagi tambatan hati yang lebih dalam dari hati yang kini telah menjatuhkan jangkarnya.

     Tidak selang beberapa lama setelah mendaftarkan diri, tibalah waktu dan sesi pengalaman baru yang pertama kali dialami seumur hidup pada saat itu, saya harus mengikuti tes untuk dapat diterima di temapat ini. Ada dua tahapan yang harus dijalani pertama tes kemampuan dasar seperti matematika, bahasa Indonesia, IPA dan IPS, yang kedua tes wawancara yang berisi tanya jawab serta Membaca Quran dan tulis Arab.

     Pada saat tes kemampuan dasar, tak sedikitpun diri ini gentar dan takut, dan merasa bahawa itu adalah sebuah tes penentuan lulus untuk diterima di pesantren itu. Waktu mengalir begitu saja, pilihan-pilihan jawaban berlalu dan diselesaikan seakan hati yang menjawab tidak sulit memikirkannya sama sekali, walaupun belum tentu kebenaran atas jawabannya. Pasca selesainya tes kemampuan dasar, disinilah diri ini mulai gugup, kekakuan menyerang bersemayam dibeberapa anggota tubuh. kaki yang biasanya sulit lelah tetiba merasakan dingin yang membekukan sampai tidak terasa lagi, tanga pun merasakan kebas, mulut kaku takberdaya, walau kepala ini terus beraktivitas seperti puzzle menyusun jawaban-jawaban untuk diutarakan dengan baik, tetap saja keluar berantakan dari mulut yang mulai kering ini.

     Ada pertanyaan yang masih teringat hingga saat ini, saya pun tidak mengerti apa penyebabnya, bisa saja hal tersebut terjadi karna canggung yang bukan main, atau karna belum terbiasa mendengar bahasa-bahasa yang diutarakan. Pada saat itu yang bertugas mewawancarai bertanya pada saya apakah bisa membaca koran, saya berbalik bertanya untuk pewawancara memperjelas pertanyaannya.
     Kamu bisa baca koran...?
     Bisa pak...
     Belajar dari mana...?
teringat dulu abang sepupu pernah mengajari dan melatih singkat untuk membaca koran yang kecil-kecil bacaannya, dan berkolom-kolom, yang pada sat itu juga membuat saya mahir membaca koran.
     Tak lama langsung saya sampaikan bahwa saya diajari abang sepupu pak...
     Pewawancara langsung memberi instruksi untuk membaca Al-Quran yang ada diatas meja.
     Saya seketika tercengang dengan instruksi tersebut, tentu saja bapak yang mewawancarai melihat reaksi wajah ini.
     Kenapa...?
     Katanya bisa baca Quran...
     Iya bisa... langsung menjawabnya.

     Dalam bayang jauh dalam pikiran ini menggelang-geleng dengan hal tersebut, rasanya bodohnya diri ini yang tidak menangkap pertanyaan pewawancara dengan baik atau kenapa tidak berfikir apa hubungannya tes wawancara ini dengan pandai membaca koran, disisilain diri membela diri sendiri, dengan menyudutkan pewawancaralah yang salah dan tidak tepat menyampaikan pertanyaannya. Pertanyaan selanjutnya yang masih saya ingat perihal tentang kemaun bersekolah di pesantren, pertanyaan ini salah satu pertanyaan yang sangat mudah untuk dijawab sebab menjawabnya cukup dengan senyuman.


     Tes-tesan telah berlalu selesai dihari itu juga, setelah keluar dari ruangan langsung memberi laporan pada ayahanda bahwa semua sudah beres dan selesai, tiba-tiba seorang dari tempat pendaftran santri baru mendatangi sang ayah dan menyarankan agar kiranya berkenan menunggu hasil dari tes yang telah dilalui tadi. Sebab menerima informasi tadi ayahanda mengajak saya untuk berkeliling-keling pesantren tersebut untuk melihat-lihat lingkungannya. Tampak terlihat banyak gedung-gedung bertingkat dua yang saat itu dijelaskan ayahanda bahwa disanalah kelas-kelas tempat sekolah nantinya. tidak jauh dari gedung sekloah tampak lah asram yang dua lantai berdampingan dan satu asrama lagi saling membelakangi, tampak pula lapangan yang tidak begitu luas namun cukup besar untuk anak-anak bermain sepak bola disana. Saat asik melihat-lihat ayah mengajak untuk pergi ke bagian paling belakang pesantren ini, katanya ingin buang air kecil. Beriringan melangkah mengikuti arah tujuannya sambil memperkenalkan apa yang kami lalui, ayah sudah seperti pemandu, cukup banyak tau untuk orang sebagai tamu dipesantren ini. Tiba dibagian belakang cukup mengejutkan dengan apa yang dilihat oleh mata ini. Kamar mandinya terbuka namun tetap beratap, ada tampak banyak pipa yang menjulur disetiap sekat-sekat pembatasnya, itu sama seperti shower untuk mandi, ada sekitar empat puluhan berjejer di kamarmandi masal tersebut, namun ada pertanyaan yang terlontar denga sendirinya tentang mengapa begitu kotor kamarmandinya. ayah menjelaskan kondisi saat sekarang lagi libur sehingga tidak ada yang mengurus, sebuah alasan yang logis walau ada pertanyaan yang berusaha tidak lagi saya lontarkan.

     Tentunya banyak kekurangan dan kelebihan yang tampak langsung dilihat, hanya saja ada hati yang memilih, hati yang melihat, yang mampu melihat yang tidak dapat dilihat oleh mata, itulah kelebihan dari hati, iya mampu melihat, mendengar dan merasakan yang tidak dapat dijangkau oleh indra lainnya.



0 komentar:

I Fall In Heart - Islamic Boarding School

01.59 Krisna Savindo 0 Comments

     Ada sesuatu keinginan dalam hidup yang tidak dapat diungkap namun dapat dikira-kira dan dicari-cari sebab musababnya. Hanya janji pada diri sendiri yang mampu diingat untuk dipenuhi, keberangkatan saya ke Bumi Minangkabau bersama ayahanda dan adinda saya, bukan lagi hanya niatan saya sendiri, namun sudah menjadi kesepakatan keluarga sudah ditimbang-timbang oleh seluruh pihak keluarga, dan sudah dirunding dengan mamanda sebagai orang yang harus memimbing kemenakannya. 

     Merinding dan gemetar tubuh ini ketika mencoba mengulang kisahnya untuk dituliskan kembali, sungguh tidak dapat dijangkau dari mana datangnya keinginan ini, walau tiga tahun yang lalu sebuah kalender membuat hati ini antusias, namun tetap bukan menjadi alasan untuk menagih setelah tiga tahun berlalu. Semacam ada sebuah suratan yang telah terbubuhi darah yang tidak dapat untuk tidak dipenuhi, tempat itu memanggil-manggil seiring berdegubnya jantung ini.

     Niatan yang kuat selayaknya bersegera untuk dipenuhi, sudah kami rencanakan bersama ayahanda untuk perhitungan harinya, untuk dapat berkunjung ke tempat-tempat keberadaan yang sudah diniati, niat untuk melanjutkan sekolah ketingkatan menengah pertama, tempat dimana anak-anak dilepas dari ketiak emaknya, tempatnya anak-anak mau belajar agama dan bahasa arab, dimana anak-anak ditempatkan oleh orangtua yang sibuk dengan pekerjaannya, dan tidak terkecuali tempat anak-anak yang nakal dan tidak sanggup orang tua mendidiknya, itulah tempat dimana orang menyebutnya pesantren. Tapi tidak dengan hati ini bukan itu semua yang menjadi alasan, niatan ini dari diri sendiri bahkan ayahanda terlebih ibunda berat melepas dari pangkuannya, belajar agama dan bahasa arab tidak pula hal tersebut yang menjadi niatan, panggilan hati dan jiwalah yang terus mendengung-dengung ditelinga mengalir lewat saraf yang mengantarkan ke otak dan digenggam oleh hati, nankemudian tidak pernah lepas sampai janji terpenuhi.

     Ada banyak pesantren di Bumi Minang ini, namun tidaklah pula semua ingin dituju hanya dikawasan Padang Panjang dan sekitarnya termasuk bagian Tanah Data lah yang ingin kami tuju. Disana ada beberapa pesantren, pertama sekali sebelum masuk kota Padang Panjang akan tampak pesantren Al Makkah, tidak  jauh dari pasar kota Padang Panjang ada pula pesantren At-Tilmizun, Al-Annisa, kemudian diluar kota padang panjang kearah jalan Bukiktinggi namun termasuk kabupaten Tanah Data ada pesantren Al-Ikhlas.

     At-Tilmizun sempat sudah menjadi salah satu tempat yang kami tuju untuk dikunjungi sebab sahabat saya sudah ada yang mondok disana sekitar dua tahun, namun karena ayahanda sudah sering ke Al-Ikhlas sebab telah sering mengunjungi sespupu saya sewaktu masih sekolah dulu, maka pesantren Al-Ikhlas menjadi tujuan pertama, lagi pula pulang dari sana toh juga akan bisa singgah sebelum balik ke Nagari Malalo, menurut ayahanda. Sampai diterminal pasar Padang Panjang turun dari bus carano cukup melelahkan, sebab selain bersempit-sempitan sejak dari Malalo bus carono ini sengaja dikemudikan supirnya dengan sangat lambat, untuk menyisir penumpang hingga penuh, bayangkan waktu tempuh satu jam malah jadi dua jam.

     Dari Pasar Padang Panjang kami segera menyambung angkutan yang tidak kala gengsinya orang sana menyebutnya Ferari, sebab angkotnya berwarna merah, modelnya sudah tidak ada yang memproduksi lagi, padahal mobil itu bukan ferari melainkan diproduksi cevrolet dan datsun. Perjalanan terus menanjak sampai ayahanda berseru kiri da...
     Kami turun tepat ditepi jalan lintas Bukik Tinggi, tidak jauh dari tepi jalan tampak sedikit menjorok kedalam disambutlah oleh sebuah gapura yang bertuliskan Islamic Boarding School  menyusul nama pesantrennya dan pendidikan agama, bahasa Arab dan Inggris, sunggung terkagum-kagum melihatnya.

     Kami melangkah menuju gerbang itu, setiap langkah yang dijejaki menarik ujung bibir kearah yang berlawanan, perlahan terbentang senyum di wajah ini dan ditepuk-tepuk punggung kecil ini oleh ayahanda. lepas langkah menjajaki tanjakan tak jauh lagi dari gerbang, jantung ini berdegub pelan namun sesak dada dibuatnya akibat setiap degubnya keras menghentak seakan ditahan hentakannya.

     Tampak Gonjong-gonjong yang familiyar dimata, namun ini berbeda dari yang sebelumnya ku lihat, gonjongan itu berlatar belakang langit yang cerah biru, dibubuhi kapas-kapas putih yang memberikan mozaik-mozaik bak sebuah lukisan, sebab ada terpancang pasak bumi yang menjulang tinggi, itulah Singgalang, bukan sebuah media, bukan pula rumah makan, namun Singgalang adalah sebuah gunung yang menghidupi kehidupan disekitarnya.

     Semakin mencoba mempercepat langkah, semakin lambat waktu terasa, kekiri dan kekanan setiap sudut direkam oleh indra penglihatan tanpa menghentikan langka untuk sampai ke gedung yang bergonjong tersebut.

     Kami disambut oleh orang-orang yang ada disana, mereka mengenakan kemeja yang diikat oleh dasi, dan dibalut oleh jas, dihantarkan kesebuah ruangan untuk dijelaskan segala sesuatunya seperti seorang Salesman menjelaskan produk untuk dibeli oleh calon konsumen. Proses berlangsung tujuan hanya untuk melihat-lihat sudah berubah, semua mengalir begitu saja, tes tertulis, wawancara dan lain-lain berlalu begitu saja, tanpa ada sesuatu yang mengganjal.

     Semua telah dijalani, hari belum pula berada pada pertengahannnya, gedung bergonjong tadi telah kami tinggal keluar sayup-sayup pedih mata ini menerima cahaya yang silau terus menantang untuk memmandangi langit yang cerah, tak disangka diseberang gerbang, tidak diseberang jalan dan jauh dari jalan itu tampak pasak Bumi yang memancang tinggi menjulang, heran rasanya yang masih terekam jelas tadinya pasak Bumi itu berada di belakang gedung yang dibelakang punggung ini, lalu kenapa berubah..? Rasa penasaran itu membawa kaki berlari menjauh dari depan gedung mencoba berlari sambil mundur terus menerus hingga tepat pada view yang cukup untuk menemukan sebuah pasak bumi yang tadi tampak menyambut, rasa penasaran itu dijawab oleh senyum yang terbalas setelah mencoba membalas arah pandang semula, ternyata Al-Ikhlas berada pada pangkuan kedua makhluk yang menjulang ini.

     Indah sungguh tak terkira Bumi ini tidak berada di keramaian, sawah dan hutan dibahu dan sebalik punggungnya, teduh alam dan langitnya, sejuk udaranya, damai Hati ini. Aku Jatuh Hati dibuatnya.

*Tentang nama-nama pesantren tidak nama asli



Next :

0 komentar:

Our Surau - Education Center of Minangkabau

19.06 Krisna Savindo 0 Comments

     Surau sering disamakan orang dengan musalah, tidak salah dengan adanya penyamaan jika dipandang dari sudut ukurannya, musalah memang berukuran tidak terlalu besar seperti mesjid yang berada ditengah pemukiman, digunakan sebagai tempat beribadah orang Islam, sholat dan mengaji.

     Namun Surau secara keseluruhan akan berbeda dengan musalah, Surau hanya akan kita dengar dikalangan orang minang saja. Surau sendiri bagi orang minang bukan hanya sebatas tempat beribadah atau sholat dan mengaji bagi orang minang, bagi orang Minang, Surau telah dijadikan menjadi suatu tempat yang kini sering kita dengar yang namanya Pusdiklat singkatan dari Pusat Pendidikan dan latihan. Alasan saya mengatakan Surau dijadikan tempat Pusdiklat bagi orang Minang karena di Minang Surau dijadikan tempat dimana anak laki-laki yang mulai menginjak masa remajanya lebih banyak menghabiskan waktunya setiap hari. Di Surau mereka belajar mengaji al Quran dan juga tafsirnya, ilmu hadis, Aqidah, Ibadah, Muamalah, dan materi keislaman lainnya. Di surau juga mereka belajar tentang petatah-petitih adat Minangkabau, beladiri, randai, dan berbagai kesenian serta adat budaya Minangkabau lainnya. Di surau jugalah mereka ditempa dan dipersiapkan untuk menjadi pribadi yang siap menanggung beban dan amanah di kemudian harinya.


     Terkait dengan fungsi surau di Minang yang ternyata tidak hanya sebatas tempat ibadah saja, maka tak salah kiranya apabila dikatakan surau sebagai salah satu pranata sosial di masyarakat Minangkabau. Pranata yang dikenal sebagai salah satu padanan kata untuk institusi, didefenisikan oleh  Koendjaraningrat sebagai sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan   khusus   dari  manusia  dalam masyarakat.

     Surau menyangkut fungsinya sebagai salah  satu atau  bagian  dari  pranata penting dalam masyarakat Minangkabau, telah memainkan peranannya untuk memenuhi berbagai keperluan masyarakat dalam kehidupan sosial bermasyarakat. Sebut saja fungsi surau sebagai institusi pendidikan dan pengajaran bagi anak-anak remaja di Minangkabau, selain itu surau juga memainkan fungsinya dalam sosialisasi berbagai informasi yang harus di ketahui masyarakat.

     Di bumi Minang yang sudah dianggap remaja hanya diperkenankan berinteraksi dirumah pada saat siang hari saja, hal ini ditujukan karena Rumah Gadang hanya menjadi milik dari kaum perempuan, selain itu hal ini ditujukan untuk mengurangi interaksi dengan saudara-saudara perempuan untuk membatasi pergaulan antara laki-laki dan perempuan, atas dari itu pada malam harinya remaja laki-laki harus tidur di Surau dan ketika masuk waktu subuh mandilah mereka untuk bersiap melaksanakan shalat subuh. Setelah terbitnya matahari maka diperbolehkanlah mereka untuk kembali ke rumah untuk sarapan dan bersiap pergi kesekolah. Sepulangnya dari sekolah pulanglah mereka kerumah untuk berganti pakaian, shalat, makan siang dan kemudian melakukan aktifitas yang sepatutnya dikerjakan termasuk membantu orangtua, waktu ashar dijadikan tanda jadwal untuk menghentikan aktifitas bekerja, kemudian itu dapatlah mereka melakukan aktifitas-aktifitas yang lainnya dapat bermain bersama teman-temannya, sampai pada waktunya bersiap kembali kesurau untuk dapat melakukan aktifitas beribadah, mengaji, mempelajari ajaran Islam, serta petatah-petitih adat Minangkabau, kemudian stelah itu dapatlah mereka turun kedepan surau untuk belajar randai berolahraga dan olah fikir yang dimaksud dengan Silek, kenapa saya menambahkan olah pikir, hal ini disebabkan filosofi silek di Minang, yang tidak mengandalkan otot, tapi mengandalkan pkiran, mangkanya seorang yang mahir dengan silat akan dipanggil dengan Pandeka yang maknanya Pandai Aka.

     Begitulah kami mefungsikan Surau kami sebagai mana adanya Pusdiklat. namun saya telah hidup dirantau, dilahirkan jau daripada bumi Minang yang tentu tidak saya dapati surau yang semacam itu, jauh dari adat dan budaya, saya yang hanya bergantung pada cara didik orang tua yang telah melatih dari Sekolah Dasar untuk belajar dari pagi sampai malam tiba. Untuk saja lingkungan memiliki fasilitas tersebut walau tidak akan saya dapati yang seperti surau ini, sepulang Sekolah Dasar siangnya haruslah saya ikuti sekolah kedua yaitu sekolah Ibtidaiyah untuk belajar pendidikan Islam sampai sore harinya, dan menjelang magrib masuk sudah harus berangkat ke masjid untuk belajar mengaji samapai selesainya sholat isya, sepulang dari sana barulah dapat mengerjakan tugas-tugas sekolah dan kemudian istirahat kembali. Namun itu semua berakhir hingga selesai Sekolah Dasar, sebab selesai pula pendidikan Madrasah Ibtidaiyah dan selesai pulah belajar mengaji.

     Sungguh dahulanya saya sendiri tidak tahu tentang begitu adanya peranan surau, walaupu sering ayahanda bercerita semasa mudanya membandingkan nasibnya dahulu dengan anaknya sekarang. Ayah dalam sela waktu sibuknya sering bersyukur kepada Allahnya yang telah memberikan nikmat kepada anaknya, dengan bentuk sebuah nasehat kepada saya. 
     Lah lamak iduik ang kini nak, kamanga se ado, sekolah serba langkok, buku ado, tas ado, indak lo nan murah...
     Ayah dahulu, untuak sakolah se susah, untuak mambali buku tulis sajo harus kaparak daulu, kok lalok di Surau, laloknyo di aleh lapiak, kok makan baru pulang ka rumah, indak ado nasih angek do nak, nasi dingin nan bamakan, ang lah lamak makan basamba lamak, lalok bakaruah di ateh kasua...
     Basyukurlah nak... 
    Seru ayahanda.

     Sungguh ada perubahan dari generasi-kegenerasi, peradaban tatanan sosial yang terbangun oleh Surau dari zaman ke zaman perlahan berubah, kebudayaan cemerlang Surau perlahan memudar, banyak faktor yang mempengaruhi, yang pasti peradaban budaya surau dahulunya tentu sudah teruji hasil pembinaannya, sebab banyak negarawan, sastrawan, serta agamawan yang dilahirkannya dari kebudayaan tersebut. Masa itu telah memudar ditelan waktu, saya sendiri tidak pernah merasakan sitem kehidupan yang seperti orang minang lakukan dahulunya, meski masa saya sebagai remaja bersekolah dan tinggal di kampung juga belum tentu akan dapat mengikutinya.

     Kemana perginya Surau kami, dimana lagi kami akan di tempah, kedua orang tua juga akan bingung bagai mana baiknya untuk menjaga anaknya agar baik anaknya yang disebabkan baik agamanya. Kalau pada saat selesai Sekolah Dasar dahulu taulah saya begitu baiknya pola remaja Minangkabau ditempah di Surau, mintalah saya untuk tinggal dikampung dan bersekolah disana. Namun kalaupun jadi adanya dahulu saya meminta untuk sekolah dan tinggal dikampung, pastilah tidak pula saya temui apa yang diharapkan dari surau itu, sebab sudah tidak ada lagi budaya itu, lantas kemana lagi saya yang sudah remaja ini harus belajar agar ditempah fisik, jiwa dan fikirnya.

Previous : Our Rumah Gadang

0 komentar:

Our Rumah Gadang

00.13 Krisna Savindo 1 Comments

     Kampung adalah suatu kata dari penamaan daerah yang terdapat beberapa rumah atau keluarga yang bertempat tinggal di sana. Kampung juga sering dijadikan sebuah deskripsi dari sikap-sikap yang berprilaku tidak sesuai dengan orang yang dianggap maju bagi peradabannya, biasanya orang yang di pandang prilakunya tidak seperti orang yang maju, sering diserang dengan kata kampungan. hal ini terjadi dimana paradikma bahwa orang kampung adalah orang yang memiliki akses yang minim, pengetahuan yang rendah, juga cukup lambat dalam menerima kemajuan zaman.

     Kampung tentu akan memiliki makna yang berbeda bila yang menyebutkannya dari daerah suku yang berbeda, akan terjadi perubahan makna dan perubahan kata karena di pengaruhi oleh budaya, bahasa, contohnya saja di sumatera barat lebih indah jika saya sebut Minang. Di Minang Kampung disebut dengan Kampuang dimana bagi orang minang yang memiliki budaya yang khas, kampuang adalah suatu daerah dimana dahulu keluarga, orang tua, dan dia berasal. Namun bila dilihat dari sudut pandang yang Universal umumnya masyarakat menyebutnya kampung halaman, namun kampung halaman lebih kecil maknanya, kampung halaman dideskripsikan sebagai tempat kelahiran seseorang, bingungnya saya sebagai orang minang yang lahir dari keluarga perantauan saat berinteraksi dengan orang-orang yang berada dilingkungan tempat lahir, yang tau saya adalah orang minang akan menanyakan dimana kampung saya di Sumatera Barat. dan jawaban dari pertanyaan tersebut dipengaruhi oleh kedua orang tua, yang dalam bercerita terkait kampung selalu mengatakan kalau kampung saya itu di Nagari Malalo. perspektif yang berbeda jika saya berada di perantauan lain, orang-orang lebih menganggap kampung saya di Gunungsitoli, disebabkan saya telah lahir dan berdomisili di Gunungsitoli, tidak ada masalah dengan kedua hal tersebut hanya saja, jika dalam proses perkenalan, saya harus lebih panjang menjelaskan kepada orang-orang, agar orang-orang mengetahui bahwa saya adalah orang yang nomaden periodik.

     Sejatinya Indonesia ini adalah kumpulan dari berbagai macam bangsa-bangsa namun karena setalah menyatu menjadi Indonesia maka sering kita dengar terdiri dari suku-suku, saya berpendapat seperti itu karena suku-suku tersebut begitu besar dan berkarakter, knapa tidak masing-masing suku memiliki kecerdasan, dan cara bertahan hidup yang berbeda, budayanya juga lengkap, masing-masing memiliki karakter rumah yang berbeda, cara berpakaian, jenis pakaian, cara bersosial, jenis tarian, bahasa, prinsip, dan cara pandangan hidup. Terlalu besar suku-suku tersebut untuk disebut suku.

     Diantara suku-suku tersebut Indonesia punya kami, kami orang minang yang sudah banyak berkontribusi pada Negara Repoblik Indonesia, baik dalam usaha memerdekakan baikpun mengisi kemerdekaan. menulis ini bukan untuk menghitung jasa-jasa kami, hanya ingin memberi tahu apa penyebab banyak dari kami dapan menjadi orang-orang yang tampa pamrih untuk berkontribusi. semua berawal dari Rumah Gadang dan budaya yang digunakan dirumah tersebut serta alamnya. yang perlu diingat rumah gadang tidak bisa diartikan kebahasa manapun karna artinya luas, tidak bisa diartikan rumah besar, atau rumah gede.

     Rumah Gadang adalah rumah keluarga besar, didalamnya dapat terdiri dari beberapa keluarga, karena rumah gadang adalah milik anak perempuan yang prinsipnya berasal dari Matrilinear, Matriakat. Rumah gadang juga difungsikan sebagai tempat aktivitas acara adat dilangsungkan umumnya digunakan bagi mereka nan saparuik, maksudnya yang satu hubungan keluarga yang berhubungan keturunan ibu. Selain itu dari fungsi Rumah Gadang juga memiliki filosofi yang sangat dalam dan luas, baik dari disain arsitektur dan juga proses pembuatannya. 

     Para nenek moyang kami berpikiran futuristik atau jauh maju melampaui zamannya dalam membangun rumah. Konstruksi rumah gadang telah dirancang untuk menahan gempuran gempa bumi. Rumah gadang membuktikan ketangguhan rekayasa konstruksi yang memiliki daya lentur dan soliditas saat terjadi guncangan gempa hingga berkekuatan di atas 8 skala richter. Bentuk rumah gadang membuat Rumah Gadang tetap stabil menerima guncangan dari bumi. Getaran yang datang dari tanah terhadap bangunan terdistribusi ke semua bangunan. Rumah gadang yang tidak menggunakan paku sebagai pengikat, tetapi berupa pasak sebagai sambungan membuat bangunan memiliki sifat sangat lentur. Selain itu kaki atau tiang bangunan bagian bawah tidak pernah menyentuh bumi atau tanah. Tapak tiang dialas dengan batu sandi. Batu ini berfungsi sebagai peredam getaran gelombang dari tanah, sehingga tidak mempengaruhi bangunan di atasnya. Kalau ada getaran gempa bumi, Rumah Gadang hanya akan berayun atau bergoyang mengikuti gelombang yang ditimbulkan getaran tersebut. Dari sisi ilmu konstruksi bangunan rumah gadang jauh lebih maju setidaknya 300 tahun dibanding konstruksi yang ada di dunia pada zamannya.


     Banyak lagi rahasia filosofi yang terdapat di rumah gadang, baik dari setiap inci bangunannya maupun tatacara membangunnya. Rumah gadang telah menjadi harta yang berharga dimiliki orang minang, namun kini harta itu sudah tidak lagi terlalu bernilai yang disebabkan oleh tertinggalnya rumah gadang tampa berpenghuni.

    Sering saya memikirkan rumah gadang kami nan saparuik. Ada waktu saya menanyakan kepada nenek dimana rumah gadang kami yang cucu nenek ini...
    Nenek yang sangat mengerti dengan adat, sebagai orang yang tinggi derajatnya di mata adat sebagai Bundo Kanduang sangat senang mendengarkan ocehan pertanyaan cucunya, ada di Duo Koto  surau awak ado juo, tapi indak ado lai nan tingga jawab nenek...
     Jawaban itu mengandung tanda tanya... membuat saya langsung menegejar atas jawaban itu, kenapa gak ada lagi yang tinggal...?
    Indak ado lai nan di kampuang, nenek-nenek ang nan lain lah dirantau, nenek ang surang ko pai kasinan kamari tampek anaknyo, kalau nenek dikampuang indak lo takao tingga di rumah gadang lai do, jauah bana nio pai-pai beko.
berarti nek rumah gadang kita kosong aja sekarang ditinggal gtu aja ya... Tapi kenapa gak disuruh aja orang tinggal biar diurusin rumahnya...
    Dulu ado nan tingga di sinan sanak awak juo, kan ado tigo keluarga nan tingga di rumah gadang awak setelah dibongka rumah gadang sambilan ruang, dibagi jadi tigo rumah gadang amaknyo nenek jo tigo adiaknyo tingga sarumah gadang...
    Tapi kini masing-masing lah buek rumah lo surang surang, nenek lah ado lo rumah dibarua (tepi jalan) desa Malalo ko...
Jadi bagai mana rumah itu sekarang...?
     Nenek menjawab dengan wajah yang prihatin, tingga sajo lah lai lah banyak nan lapuak kini, lantainyo sajo lah banyak nan lapuak, indak bisa ditingga di rumah itu lai.
     Saya pun seketika terlempar kedalam imajinasi seakan berada di depan tangga rumah gadang mencoba hati-hati untuk naik dan masuk kerumah itu, baru melangkah dari bibir pintu dua langkah masuk dalam ruangan saya terperosok kebawah rumah gadang yang biasanya di jadikan kandang serba guna ataupun gudang, badan bertaburan debu, beberap bagian tangan tergores lecet, seketika saya berlari keluar lantaran sesak dan sedikit merinding dan mencoba memandangi dari jauh rumah yang ditinggalkan oleh para penghuninya, samar rupa dalam imajinasi karna yakin atas keahlian bentuknya yang belum pernah pandangi langsung asli bentuk rumah gadang kami.

Antaro Marapi jo Singgalang By Teddy Winanda
    Tidak banyak kesempatan untuk mengenal banyak tentang adat di ranah nagari nan elok ini wlaupun kedepan akan sekolah ditempat yang tidak jauh dari nagari nan elok ini. setidaknya kini akan semakin sering pulang ka kampuang dari sebelumnya. Berharap dapat berkunjung melihat Rumah Gadang Kami.

Previous : Come or Return, to where the hard left

Next : Our Surau

1 komentar: