Pancasila as the Basic Foundation that Spans not Looming

19.07 Krisna Savindo 0 Comments

     Dalam waktu Kurang satu tahun belakangan ini sering kita mendengar mengenai empat pilar kebangsaan. Pertama disebutkan Pancasila menjadi bagian dari empat pilar tersebut. Kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Ketiga Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keempat Bineka Tunggal Ika.

     Pancasila adalah ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.

     Lima sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule (Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.

     Meskipun terjadi perubahan kandungan dan urutan lima sila Pancasila yang berlangsung dalam beberapa tahap selama masa perumusan Pancasila pada tahun 1945, tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.

     Dalam sejarahnya upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yaitu :

     Lima Dasar oleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai berikut:
Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah lama berkembang di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya meragukan pidato Yamin tersebut.

     Panca Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945 dalam pidato spontannya yang kemudian dikenal dengan judul "Lahirnya Pancasila". Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut:
Kebangsaan; Internasionalisme; Mufakat, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan; Ketuhanan. Nama Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni.

     Sekarang banyaknya prinsip:
kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.

Setelah Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen penetapannya ialah :

Rumusan Pertama : Piagam Jakarta (Jakarta Charter) - tanggal 22 Juni 1945
Rumusan Kedua : Pembukaan Undang-undang Dasar - tanggal 18 Agustus 1945
Rumusan Ketiga : Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat - tanggal 27 Desember 1949
Rumusan Keempat : Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara - tanggal 15 Agustus 1950
Rumusan Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959)

     Pada dasarnya Pancasila sendiri diartikan lima dasar, berarti Pancasila diciptakan untuk hadir sebagai dasar bernegara yang memiliki masyarakat, sehingga posisi pancasila sebagai dasar tidak dapat disamakan atau dijadikan sebagai pilar yang bermakna pondasi. Sebab Pancasila Sebagai Pokok dasar juga tidak dijelaskan secara rijid dan mendetail, agar tidak kaku, dan nantinya juga dapat ditafsirkan mengikuti perkembangan zaman moderen.

     Menurut Nurcholish Madjid Pancasila adalah rumusan aspirasi. Kalau menyebut Pancasila sebagai ideologi, boleh-boleh saja. Tetapi, itu kurang tepat dibanding Marxisme sebagai ideologi. Pancasila bisa menjadi ideologi modern, kalau kita biarkan open-ended. Maksudnya, Pancasila tidak boleh dirumuskan secara mendetail, sekali untuk selamanya atau once and for all. Sebab, hal itu akan menyebabkan sebuah ideologi menjadi ketinggalan zaman. Contohnya komunisme yang cuma bertahan 75 tahun dan akhirnya menjadi usang. Itu sebetulnya dalil Karl Meinnhem, yang menyebut ideology tends to be absolute. Nah, dalam rangka itu, tidak dibenarkan adanya satu kelompok atau perorangan yang mengklaim sebagai yang berhak merumuskan. Jadi serahkan saja kepada dinamika masyarakat. Inilah openended ideology.

     Melihat dari  hal-hal mengenai Pancasila, sangat tidak sesuai bila Pancasila dijadikan salah satu kedalam sendi atau empat pilar kebangsaan yang mana pndosai bersifat rijid, baku  dan rinci. sebab secara esensi Pancasila menjadi dasar negara, bukan menjadi bagian dari tiang-tiang atau pondasi dari negara Republik Indonesia.

0 komentar:

Conflicting Cultural Forces

14.35 Krisna Savindo 0 Comments

      Indonesia yang berbudaya plural menjadi bentuk keharusan dalam meyakini keberadaan bersuku dalam berbangsa. Dari sabang sampai merauke terdapat perbedaan adat dan istiadat yang beragam jenis dalam perbedaan. Tidak mungkin kita menghindar dari keharusan beradat, sebab menjadi sebuah keharusan menjujung langit tempat bumi dipijak. Meskipun terus mencoba berlari dari budaya kesukuan, akan berjumpa dalam sosial bermasyarakat.

      Pluralnya adat di Bumi pertiwi ini seharusnya menjadi ragam keindahan yang hanya ditemukan di Indonesia. Namun keberagaman tersebut sering terbentur dengan hal-hal sosial berhidup dan kehidupan, yang tidak luput dari prahara cerita-cerita panggung sandiwara umat manusia.

     Dari sekian banyak adat istiadat yang ada di negeri ini, ada budaya yang sudah cukup tua dan usang. yang berada di bagian barat pulau sumatera, berkontur daerah pesisir daratan rendah, bukit gunung, dataran tinggi, beralaskan tapak dari Marapi jo Singgalang nan manjulang tinggi tapancang dek Talang jo Tandikek, manapi dek singkarak jo maninjau, danau dibawah mangkonyo di ateh dek diateh mangkonyo di bawah.

   Tidak cukup dengan keindahan itu saja, budaya dalam keorganisasian yang lengkap, tersusun rapi dalam strata sosial ninik mamak, yang memiliki cadiak pandai, yang berilmu bertokoh agama dan memiliki falsafah yang tinggi dalam sosial. Tegaknya budaya adat, Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah, menajadi motiv dalam gerak sikap dan berprilaku, menjadi sebuah suasana berkesahajaan labih dari sekedar menjunjung sebuah norma-norma sosial dan beragama, adat harus ditegakkan, tanpa pengeculian kecuali dari adat memberi pengeculian yang telah tersuarat.

     Letak sistem aturan budaya beradat yang membedakan dari adat budaya di bumi yang lain adalah sistem matriakat dan matrilinear dengan sistem patriakat dan patrilinear. di Indonesia satu-satunya sistem matriakat dan matrilinear hanyalah di Minang Kabau, budaya dinegeri ini memiliki kebudayaan yang khas yang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.

    
    Pada suatu waktu hidup seorang laki-laki bernama pandeka yang lahir dari keturunan bersuku minang di ranah minang, iya menjadi satu-satunya anak tunggal dari orangtuanya, tidaklah dia memiliki saudara terlebih saudara kandung perempuan. jika engkau sudah mengenal adat di ranah minang ini, maka engkau akan mengerti apa yang akan terjadi.

     Adat minang yang menyanjung dan mendewikan perempuan mengharuskan harta dijatuhkan pada anak perempuan syarat juga garis keturunan untuk di ambil dari Ibu, namun apa daya, anak laki-laki tersebut tak dapat menerima harta keturunan dari orangtunya, maka jatulah waris ditanggungjawabi oleh mamaknya, saudara laki-laki ibunya bila kedua orantuanya meninggal dunia. suatu ketika kedua orangtuanya telah tiada habislah sudah, buruklah nasibnya, kini yang dia miliki hanyalah badan dan segenap tenaga untuk berusaha seorang diri.

     Adat tetaplah adat tak dapat diganggu gugat, harta yang telah dilimpahkan kepada mamak, sudah menjadi harta pusako, tidak dapat di gadaikan, indak buliah dipindahkan ka urang lain. kecuali gadih gadang indak balaki, mayat tabujua di ateh rumah, adaik indak badiri, hal ini dikontekstualkanharta pusaka hanya dapat di gadaikan jika indak ado pitih marenofasi rumah gadang, untuak paralek mangawinkan kamanakan padusi, untuak upacara kematian, dan untuak bataga penghu baru.
    Pandeka yang merasa masih memiliki hak atas harta orangtuanya, mencoba memaksa untuk dapat menggadaikan harta tersebut, guna untuk hidupnya, di dalam rumah gadang terjadi perdebatan keluarga, antara mamak dan para kemenakan, dalam permasalahan harato pusako, bersitegang urat leher berakhir dengan kejadian yang membuat seisi rumah ribut dan kacau, sebab anak laki-laki yang nasibnya malang tersebut, tak kuasa menahan diri, dihujamkannya sebilah keris kepada mamaknya, hingga tidak sanggup lagi mamaknya bernafas.

      Bersimpah darah di atas rumah gadang, takdapat menyangkal akan kesalahannya, pandeka akhirnya diadili, dan di tahan dalam penjara, waktu berlalu dalam tahanan pandeka insaf, dia belajar menjadi orang baik, menahan amarah, belajar ilmu agama, sampai pada akhirnya, dia di asingkan ke Makasar. pandeka tak memilih untuk pulang ke kampung halaman, sebab sudah merasa terusir, dan tak punya apa-apa di kampung.

     Kehidupan di Makasar dilaluinya hingga dia menikah dengan seorang gadis Makasar, dan mempunyai anak Laki-laki bernama zainudin, yang ketika belum sampai usia remaja sudah yatim piatu ditinggal  kedua orangtuanya, malangnya nasib zainudin yang tinggal bersama saudara ibunya yang mengasuh. Pengasuhnya sering menceritakan tentang ayahnya sebagai orang minang, sampai cerita ayahnya menikah dengan ibunya.

     Budaya makasar yang memperoleh garis keturunan dari ayah, membuat zainudin dianggap orang minang di Makasar, begitu pula denga budaya adat minang, yang garis keturunan dari ibu membuat nasib zainudin tidak jelas kesukuannya karna ibunya bukan orang minang.

      Semasa kecil Zainudin sering mendengar cerita ayahnya tentang Bumi alam Minang kampung halamannya, keindahan dilihat oleh Zainudin melalui cerita-cerita tersebut, membuat dia ingin kembali kekampung ayahnya tersebut ketika dia dewasa.

     Perjalananpun dimulainya ketika cukup umurnya, diterimanya bekal dan secukupnya harta yang dititipkan ayahnya kepada pengasuhnya. Zainudin pun akhirnya sampai di Teluk Bayur pelabuhan di pesisir Sumatera barat bersurat juga tak lupa dia kirimkan kepada pengasuhnya saat sampai di Padang, setelah itu dia lanjutkan perjalanan ke kampung ayahnya yang dilihatnya melalui cerita-cerita selama ini.

     Batipuh nama kampung tersebut terletak di bawah kota Padang Panjang, jalan menuju ke Solok. Disaat tiba di tanah Batipuah, dikenalkanlah dirinya kepada bakonya, keluarga dari ayah, sebab ibunya bukanlah orang minang, tak ada pula saudara perempuan dari ayahnya. Keluarga laksan kajatuhan bintang dari langit, tidak menyangka akan berjumpa dengan anak muda yang gagah dan pantas menurut adat disebut "Anak Pisang".

     Zainudin merasa gembira hatinya selah sampai di Negri minang ini, dan di sambut, namun bulan terus berganti basa-basi juga membosan, kegembiraanpun perlahan menghilang, sebab apa yang dibayangkannya tidak serupa dengan yang dialaminya, di ranah minang, di dusun Batipuah itu Zainudin tetap dianggap sebagai orang asing, sebagai pendatang sebagai orang jauh. Zainudin tidak dianggap sebagi orang minang dia dipandang sebagai Orang bugis, orang Makasar. (From :"Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" by:Hamka)

    Malangnya nasib Zainudin, tidak punya saudara kandung, dihulu orang jauh, dihilir jadi pendatang, tidak jelas apa sukunya, di mana kampungnya.

     Kemana harus mengadu, nyaris saja aku bernasib seperti Zainudin, yang lahir ditanah orang jauh, bersyukur dilahirkan oleh seorang perempuan bedarah asli minang kabau, sehingga dengan keyakinan, dapat pula ku teguhkan aku orang Minang.

Adat yang berada saat ini memiliki sisi yang kejam dalam sudut pandang yang berbeda, juga elok terlihat. Begitu malangnya nasib si anak pisang, yang tidak dianggap di kampung sendiri.

0 komentar: