Conflicting Cultural Forces

14.35 Krisna Savindo 0 Comments

      Indonesia yang berbudaya plural menjadi bentuk keharusan dalam meyakini keberadaan bersuku dalam berbangsa. Dari sabang sampai merauke terdapat perbedaan adat dan istiadat yang beragam jenis dalam perbedaan. Tidak mungkin kita menghindar dari keharusan beradat, sebab menjadi sebuah keharusan menjujung langit tempat bumi dipijak. Meskipun terus mencoba berlari dari budaya kesukuan, akan berjumpa dalam sosial bermasyarakat.

      Pluralnya adat di Bumi pertiwi ini seharusnya menjadi ragam keindahan yang hanya ditemukan di Indonesia. Namun keberagaman tersebut sering terbentur dengan hal-hal sosial berhidup dan kehidupan, yang tidak luput dari prahara cerita-cerita panggung sandiwara umat manusia.

     Dari sekian banyak adat istiadat yang ada di negeri ini, ada budaya yang sudah cukup tua dan usang. yang berada di bagian barat pulau sumatera, berkontur daerah pesisir daratan rendah, bukit gunung, dataran tinggi, beralaskan tapak dari Marapi jo Singgalang nan manjulang tinggi tapancang dek Talang jo Tandikek, manapi dek singkarak jo maninjau, danau dibawah mangkonyo di ateh dek diateh mangkonyo di bawah.

   Tidak cukup dengan keindahan itu saja, budaya dalam keorganisasian yang lengkap, tersusun rapi dalam strata sosial ninik mamak, yang memiliki cadiak pandai, yang berilmu bertokoh agama dan memiliki falsafah yang tinggi dalam sosial. Tegaknya budaya adat, Adat Basandi Sarak, Sarak Basandi Kitabullah, menajadi motiv dalam gerak sikap dan berprilaku, menjadi sebuah suasana berkesahajaan labih dari sekedar menjunjung sebuah norma-norma sosial dan beragama, adat harus ditegakkan, tanpa pengeculian kecuali dari adat memberi pengeculian yang telah tersuarat.

     Letak sistem aturan budaya beradat yang membedakan dari adat budaya di bumi yang lain adalah sistem matriakat dan matrilinear dengan sistem patriakat dan patrilinear. di Indonesia satu-satunya sistem matriakat dan matrilinear hanyalah di Minang Kabau, budaya dinegeri ini memiliki kebudayaan yang khas yang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan.

    
    Pada suatu waktu hidup seorang laki-laki bernama pandeka yang lahir dari keturunan bersuku minang di ranah minang, iya menjadi satu-satunya anak tunggal dari orangtuanya, tidaklah dia memiliki saudara terlebih saudara kandung perempuan. jika engkau sudah mengenal adat di ranah minang ini, maka engkau akan mengerti apa yang akan terjadi.

     Adat minang yang menyanjung dan mendewikan perempuan mengharuskan harta dijatuhkan pada anak perempuan syarat juga garis keturunan untuk di ambil dari Ibu, namun apa daya, anak laki-laki tersebut tak dapat menerima harta keturunan dari orangtunya, maka jatulah waris ditanggungjawabi oleh mamaknya, saudara laki-laki ibunya bila kedua orantuanya meninggal dunia. suatu ketika kedua orangtuanya telah tiada habislah sudah, buruklah nasibnya, kini yang dia miliki hanyalah badan dan segenap tenaga untuk berusaha seorang diri.

     Adat tetaplah adat tak dapat diganggu gugat, harta yang telah dilimpahkan kepada mamak, sudah menjadi harta pusako, tidak dapat di gadaikan, indak buliah dipindahkan ka urang lain. kecuali gadih gadang indak balaki, mayat tabujua di ateh rumah, adaik indak badiri, hal ini dikontekstualkanharta pusaka hanya dapat di gadaikan jika indak ado pitih marenofasi rumah gadang, untuak paralek mangawinkan kamanakan padusi, untuak upacara kematian, dan untuak bataga penghu baru.
    Pandeka yang merasa masih memiliki hak atas harta orangtuanya, mencoba memaksa untuk dapat menggadaikan harta tersebut, guna untuk hidupnya, di dalam rumah gadang terjadi perdebatan keluarga, antara mamak dan para kemenakan, dalam permasalahan harato pusako, bersitegang urat leher berakhir dengan kejadian yang membuat seisi rumah ribut dan kacau, sebab anak laki-laki yang nasibnya malang tersebut, tak kuasa menahan diri, dihujamkannya sebilah keris kepada mamaknya, hingga tidak sanggup lagi mamaknya bernafas.

      Bersimpah darah di atas rumah gadang, takdapat menyangkal akan kesalahannya, pandeka akhirnya diadili, dan di tahan dalam penjara, waktu berlalu dalam tahanan pandeka insaf, dia belajar menjadi orang baik, menahan amarah, belajar ilmu agama, sampai pada akhirnya, dia di asingkan ke Makasar. pandeka tak memilih untuk pulang ke kampung halaman, sebab sudah merasa terusir, dan tak punya apa-apa di kampung.

     Kehidupan di Makasar dilaluinya hingga dia menikah dengan seorang gadis Makasar, dan mempunyai anak Laki-laki bernama zainudin, yang ketika belum sampai usia remaja sudah yatim piatu ditinggal  kedua orangtuanya, malangnya nasib zainudin yang tinggal bersama saudara ibunya yang mengasuh. Pengasuhnya sering menceritakan tentang ayahnya sebagai orang minang, sampai cerita ayahnya menikah dengan ibunya.

     Budaya makasar yang memperoleh garis keturunan dari ayah, membuat zainudin dianggap orang minang di Makasar, begitu pula denga budaya adat minang, yang garis keturunan dari ibu membuat nasib zainudin tidak jelas kesukuannya karna ibunya bukan orang minang.

      Semasa kecil Zainudin sering mendengar cerita ayahnya tentang Bumi alam Minang kampung halamannya, keindahan dilihat oleh Zainudin melalui cerita-cerita tersebut, membuat dia ingin kembali kekampung ayahnya tersebut ketika dia dewasa.

     Perjalananpun dimulainya ketika cukup umurnya, diterimanya bekal dan secukupnya harta yang dititipkan ayahnya kepada pengasuhnya. Zainudin pun akhirnya sampai di Teluk Bayur pelabuhan di pesisir Sumatera barat bersurat juga tak lupa dia kirimkan kepada pengasuhnya saat sampai di Padang, setelah itu dia lanjutkan perjalanan ke kampung ayahnya yang dilihatnya melalui cerita-cerita selama ini.

     Batipuh nama kampung tersebut terletak di bawah kota Padang Panjang, jalan menuju ke Solok. Disaat tiba di tanah Batipuah, dikenalkanlah dirinya kepada bakonya, keluarga dari ayah, sebab ibunya bukanlah orang minang, tak ada pula saudara perempuan dari ayahnya. Keluarga laksan kajatuhan bintang dari langit, tidak menyangka akan berjumpa dengan anak muda yang gagah dan pantas menurut adat disebut "Anak Pisang".

     Zainudin merasa gembira hatinya selah sampai di Negri minang ini, dan di sambut, namun bulan terus berganti basa-basi juga membosan, kegembiraanpun perlahan menghilang, sebab apa yang dibayangkannya tidak serupa dengan yang dialaminya, di ranah minang, di dusun Batipuah itu Zainudin tetap dianggap sebagai orang asing, sebagai pendatang sebagai orang jauh. Zainudin tidak dianggap sebagi orang minang dia dipandang sebagai Orang bugis, orang Makasar. (From :"Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" by:Hamka)

    Malangnya nasib Zainudin, tidak punya saudara kandung, dihulu orang jauh, dihilir jadi pendatang, tidak jelas apa sukunya, di mana kampungnya.

     Kemana harus mengadu, nyaris saja aku bernasib seperti Zainudin, yang lahir ditanah orang jauh, bersyukur dilahirkan oleh seorang perempuan bedarah asli minang kabau, sehingga dengan keyakinan, dapat pula ku teguhkan aku orang Minang.

Adat yang berada saat ini memiliki sisi yang kejam dalam sudut pandang yang berbeda, juga elok terlihat. Begitu malangnya nasib si anak pisang, yang tidak dianggap di kampung sendiri.

0 komentar: