Behind The First Envelope

22.49 Krisna Savindo 0 Comments

    Seseorang yang sudah jarang tidak saya lihat untuk enam tahun lamanya, tiba-tiba datang kerumah yang hangat itu, pada saat itu rasa penasaranpun sejurus muncul untuk bertanya-tanya didalam hati, apakah gerangan?
    Gerangan apa abangda sepupu saya datang kerumah sore-sore itu?
    Karena bukan orang lain sambil masuk kerumah iya bertanya mana Ayah kepada saya...
    Tidak beberapa saat, ayahanda muncul dan langsung bertanya tentang sesuatu yang sudah mereka janjikan. Penasaran tadi terus mengalir sambil memanjangkan leher berupaya mendengar agar tahu apa yang sedang dibicarakan. Melihat sepupu saya mengeluarkan sebuah brosur Pondok Pesantren tak dapat tertahan senyum di hati, senang rasanya bahwa jelas kelak harus melanjutkan sekolah dimana, karena hasrat ingin hati dapat terpenuhi dan janji pun dapat ditepati.



    Sebab telah jelas tentu jadi melanjutkan sekolah ke Sumtera Barat Bumi Mianangkabau, ayahanda memikirkan bagai mana caranya agar surat-surat yang dibutuhkan untuk mendaftar nanti dapat dilengkapi sesegera mungkin. Pada saat itu Ijazah dan SKHU belum dapat di urus sama sekali, sebab kelulusan SD pun belum diumumkan, namun itulah hebatnya seorang ayah tak ada buntunya akal, iya mencoba mencoba berjumpa kepada kepala sekolah untuk menanyakan tentang kelulusan sekaligus meminta agar Ijazah dan SKHU dapat dikeluarkan segera karena perlu agarkiranya dibawa untuk mendaftar segera karena khawatir masa pendafataran nanti selesai jika menunggu proses dan jadwal kedua berkas itu dibagikan ke Alumni. Tujuan baik dari ayahanda disambut baik oleh kepala sekolah, tidak kelang seminggu sebelum pengumuman kelulusan Sekolah Dasar, pada saat itu pengumuman kelulusan itu tidak lagi begitu menegangkan karena saya sudah tau bahwa lulus Ujian Nasional, namun yang masih teringat sampai saat ini kami tidak diberi amplop untuk mengetahui kelulusan, kami hanya melihat nomor ujian yang dipampang di depan gedung sekolah untuk mengetahui lulus atau tidaknya, kelulusan itu juga diraih oleh seluruh siswa tamatan tahun 2003.

    Kali ini berbeda dengan waktu SD dulu, setelah mengitari Pondok Al-Ikhlas kami kembali menuju ke gedung yang bagonjong itu, sebab sebelumnya sudah dijanjikan bahwa hari itu juga dapat menerima hasil dari tes penerimaan murid baru. Tak selang beberapa waktu menunggu, seseorang yang sosoknya begitu tegas karena polesan photongan rambutnya yang tampak seperti seorang angkatan menghampiri ayahanda sampil membawa sepucuk amplop, dia mengajukan sebuah pertanyaan yang memastikan bahwa pemilik surat yang dibawanya adalah yang dia tuju, pada saat itu ayahanda membenarkan apa yang disampaikan laki-laki itu, dan meneruskan sebuah instruksi untuk memberikan amplop tersebut kepada saya yang tampak tidak tenang.

    Entah apa yang terfikir oleh ayahanda, sehingga dia menyerahkan sepucuk aplop tersebut, namun hal itu terjawab oleh ucapannya bahawa pemilik surat tersebut adalah saya, sebab sayalah yang sangat menantikannya. Dengan tampang berusaha percaya diri menerima untuk membuka amplop tersebut, karena ayahanda yang terus tersenyum memperhatikan gerak, detik demi detik saat mencoba dengan pelan untuk mebuka amplop yang harus dibuka perekatnya. Ragu-ragu amplop tersebut akhirnya dapat terbuka, dan sudah bisa untuk mengeluarkan isinya, tanpa membaca keseluruhan, mata ini langsung berkonsentrasi untuk mencari kata lulus atau selamat anda diterima.

    Tidak terlalu sulit untuk menemukannya, sebab tulisan lulus dituliskan dengan huruf kapital. Surat tersebut menjadi suatu kesempatan yang diberikan pesantren ini untuk saya memilih mendaftarkan diri lebih lanjut sebagai santri disini. Moment untuk menentukan pilihan tersebut berjalan begitu saja, meyakinkan untuk tidak mencoba di Pondok Pesantren lain hanya tinggal basabasi saja, sebab belum lagi diterima, hati sudah menjatuhkan pilihan terlebih dahulu.

Previous : Hearts Choice - Choosing Hearts

Next : Removing the Heart - Split not Mean Divorced

0 komentar: