Come or Return, to where the hard left

17.36 Krisna Savindo 0 Comments

Matahari sudah tidak menampakkan sedikitpun cahanya lagi, hanya serapan dari bulan lah cahaya itu muncul menemani perjalanan ku pada malam itu, driver yang sudah hampir paham seluk beluk jalanan lantaran sering dia lalui, membawa mobil yang ku tumpangi melesat menuju sumatera barat, yang melintasi beberapa kota, seperti sidempuan dan perbatasan Sumatera Utara. Ada beberapa perbedaan yang sangat signifikan yang dapat kita perhatikan dengan mata kita sendiri, terlebih kita rasakan saat berkendaraan, saat tiba di perbatasan anatara Sumatera Utara dengan Sumatera Barat perbedaan itu memberi kenyamanan pagi sipengguna jalan, lantaran ketika memasuki jalan lintas Sumatera Barat tersebut jalan tersebut mulus, saat engkau berada dalam mobil, akan banyak getara yang hilang yang engkau rasakan.


Walaupun sudah memasuki jalanan yang mulus ada gangguan-gangguan yang tidak dapat ku kendalikan, yang tidak mampu membuatku terlelap, sering tersentak di tengah-tengah malam laju mobil dari Kota Sibolga. Perasaan dan hati yang tidak kunjung tenang, kegelisahan mengalir terus menerus. Kebimbangan menyerangku, tidak terlalu kupahami dengan jelas alasan kebimbangan tersebut muncul, tidak pulah sepenuhnya berani ku simpulkan kebimbangan tersebut berada pada keraguan untuk belajar di Sumatera Barat meninggalkan orang-orang yang berpengaruh dalam hidupku.

Aku berusaha menghilangkan keraguan dalam diri ku, dengan memperhatikan perjalanan dalam gelap yang hanya di terangi oleh bulan dan lampu mobil, perlahan mata yang selalu siaga tersebut lelah juga oleh cahaya-cahaya yang bermunculan dan mendadak berhilangan hingga tidurku menghantarkan aku saat bumi ini mulai diterangi oleh sumber energinya sendiri dari maha kuasa.
pagi itu itu senyumku menyambut tatapan ku yang tertuju pada persimpangan yang menipu, persimpangan tersebut adalah persimpangan yang selalu ku ingat dan di beritau selalu oleh orangtua ku, dimana akal-akalan terbangun untuk menandakan akan tiba di kampung halaman.

Simpang Payo nama simpangnya, untuk menuju Nagari Malalo tersebut, Sopir travel harus memutar stirnya sampai habis untuk dapat berbelok di turunan menuju Nagari Malalo.

Untuk sampai ke kampung halaman ku, dari simpang, terlebih dahulu melewati beberapa desa yaitu Sumpu, Rumbai, Padang Lawas, Tangah XX, Tanjung Sawah dan Pasar Malalo tidak jauh dari pasar malalo aku sudah dapat melihat rumah ibu ku, yang di hadiahkan dari seorang pengusaha kaya yang sukses di rantau kota Bengkulu. rumah tersebut rumah moderen clasic, yang bangunannya semi permanen, yang memiliki halaman yang tidak begitu luas cukup untuk bermain ditumbuhi rumput jepang orang sering menyebutnya. Mungkin banyak dalam benak orang di pedesaan sumatera barat pada umumnya rumah masyarakat berbentuk bagonjong Rumah Gadang.

Bagi orang Minang Rumah Gadang tetaplah Rumah gadang, Rumah yang di Sakralkan, tapi Rumah Gadang Kami jauh di bukit sana di atas pasar Malalo, Nagari Duo Koto namanya. Tapi rumah gadang kami sudah lama di tinggal, karna sudah sedikit sanak saudara yang tinggal di kampung, rumah yang di tepi jalan Malalo saja sering di tinggal begitu saja.

Untuk tinggal di rumah bersejarah ini tidak saat ini saja pernah aku jalani, namun sewaktu aku belum banyak mengerti tentang semua hal saja aku sudah pernah di tinggal seorang diri bersama nenek dalam waktu cukup lama. Setiap berada di kampung halaman ini ada banyak moment-moment yang sangat ku rindukan yang ingin ku ulang setiap berada di Nagari nan elok ini, mulai dari makan siang di pondok-pondok pesawahan sambil menikmati angin yang tidak hentinya putus-putus berhembus, selain makan siang di pesawahan, juga ada moment yang tidak kala nikmatnya, makan di bawah pohon Katapiang, sambil mencelupkan kaki kedalam danau Singkarak yang tidak pernah tenang itu, ada yang sangat langka ku temukan di kampung halaman ku ini, dan hanya ku lihat di kampung ini pula seumur hidupku bahkan sampai saat tulisan ini ku tulis, saat aku berdiri di depan rumah dan memandang ke arah danau, ada Pohon yang sangat besar ukurannya dan lebat daunnya yang sangat tua umurnya, itulah dia Pohon Katapiang yang buahnya juga dapat dimakan. Belakangan baru aku sadari bahwa ketika candu-candunya aku dengan kegiatan yang tidak terlupakan itu, aku meyakini bahwa inilah Surga Dunia yang sesungguhnya, yang tidak lepas dari angin, tidak pula kering dari air.


Namun ada satu hal yang membuat aku slalu meragu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mengenai letak kampung halamanku, pada suatu sisi aku meyakini bahwa Nagari Malalo nan Elok ini adalah Kampung Halaman ku, di sisi lainnya pula aku harus akui bahwa aku bukan di lahirkan dan berdomisili di Nagari ini. Sungguh anak Rantau yang malang.

Next    : Our Rumah Gadang


0 komentar: