Demanding Science to Minangkabau
Keputusan tanpa ada keraguan, membawa langkah untuk pergi menyebrangi lautan.
Hal ini sudah cukup lama terjadi, lebih dari sembilan tahun yang lalu, Siang
itu ku sebrangi lautan dengan kapal tercepat yang ada di pulau itu yang mampu
menyebrangi lautan menuju pesisir pulau Sumatera tiga jam lamanya. Penyebrangan
ini bukan pertama kali bagi ku, hanya saja penyebrangan sebelumnya sering
menggunakan kapal yang jalannya malam, yang lama jarak tempuhnya selama kurang
dari sembilan jam.
Waktu kecil aku adalah orang yang sangat takut untuk naik mobil, mulai dari
mobil angkutan umum maupun mobil pribadi yang mewah sekalipun, sebab ini
permasalahan anak pulau yang perutnya sekan terguncang sehingga membuatnya
mual, dan akan membuat isi perut yang telah di makan akan keluar, dengan bau
yang sangat tidak sedap. Tapi jangan tanyakan untuk bepergian dengan kapal laut
bahkan perahu kecil tidak sedikitpun mental ini akan urung untuk bergegas
menantang badai. Tidak lama menunggu semua penumpang naik ke atas kapal
terdengal suara trompet keras pertama kali sebagai tanda bahwa kapal akan
bersiap untuk berangkat, menyusl trompet kapal yang kedua sebagai informasi
bahwa kapal telah lepas dari dermaga.
Perlahan dan pasti kapal mengatur arah untuk keluar dari dermaga, mundur untuk
berputar meluruskan kepala kapal menuju lautan yang luas. Perlahan pula suara
mesin kapal semakin kuat terdengar, tanda mesin-mesin kapal dihidupkan semua.
kapalpun sudah membelakangi pulau kelahiran ku temapat aku tumbuh selama dua belas
tahu. Ini adalah moment yang tidak akan ku lewatkan, aku beranjak dari kursi,
ku tinggalkan ayahku yang duduk tenang di sampingku, aku menuju ke belakang
kapal untuk naik ke bagian atap kapal agar aku bisa memandangi pulau keramat
yang akan ku tinggalkan.
Berdiri tegak membelakangi arah angin, menggenggam erat besi untuk aku
bertumpu, kutatap dermaga yang kian mengecil dari pandangan ku, membuat
pandanganku terhadap pulau dapat terliahat lebih luas, aku mencari-cari di mana
kira-kira posisi rumahku yang akan ku tinggalkan. tekad yang kuad untuk pergi
meninggalkan pulau sempat sepintas surut tanpa alasan yang jelas, namun
laut tak selamanya surut, tekad ini terus pasang hingga angin yang berhembus
dari belakangku, membawa pikiranku pada sahabat-sahabat yang memilih untuk
tetap di pulau keramat tersebut untuk tetap sekolah di sana, angin juga membawa
ku kapda kejadian-kejadian yang telah kulalui selama ini, wajah-wajah mereka
melitas lalu lalang dalam memori yang berkapasitas tidak terhingga yang masih
banyak ruang kosongnya. tatapan ku terpaku terbawa susana saat itu, dibelai
oleh angin yang tak terlihat namun dapat dirasakan, makluk tanpa wujud yang
masuk ke pori-pori baju ku tanpa permisi, karena mereka yakin bahwa pemiliknya
akan sangat nyaman dengan hal tersebut dan pasti akan mengizinkannya.
Ku biarkan mereka melawati sela-sela tubuhku, kurentangkan tangan merasakan
nikmat alam ini, karena bagi ku angin adalah bagian dari penentu arah yang
dapat membawa sebuah cita-cita sampai ke pelosok negri. Perlahan aku berpaling
ke sumber angin ku biarkan merka menyerangku tanpa menghindar sedikitpun,
kubiarkan mata ku terpejam dan pikaranku terus menjelajahi seluruh alam raya
tak sedikitpun kubatasi biarlah terbang terbawa angin hingga langit berubah
berwarna orange.
Pikiranpun mulai berjalan lambat dalam menjelajah, pejaman mataku mulai ku buka
tanpa kusadari langit sudah tidak biru lagi warnanya berubah kemerahan,
ternyata di belakangku matahari sudah mulai terbenam salasatu bentuk peristiwa
alamiah yang terjadi. Diatur oleh Maha Manager yang tiada duanya di alam
semesta ini, Dia Maha Programer yang tiada celah dan kelemahan, yang mampu
membuat sistem prosedur dengan tatanan aturan dan ketentuan yang sistematis dan
teratur, sayangnya sapai saat itu aku belum berjumpa dengannya.
Senja itu menuntun kapal super cepat mendekati pesisir pulau Sumatera,
orang-orang di dermaga itu menanti kami yang mulai mendekati dermaga, ku
beritau bahwa mereka bukan para saudara yang ada dikapal ini yang ingin
menjemput. mereka yang menunggu kami untuk turun dari kapal ini adalah para
tukang becak, kuli angkat barang, para agen travel yang berharap semua orang
akan menggunakan jasa mereka, karena mayoritas yang ada di kapal tersubut
memiliki tujuan masing-masing yang tidak terhenti di kota dermaga tersebut.
Dermaga atau Pelabuhan tersebut bernama Sambas, kotanya bernama Sibolga.
Ayahanda yang sering berpergian hingga tidak dapat dihitung lagi sehingga
memiliki pengalaman dan cara menikmatinya sendiri. Ayahanda tersebut memanggil
salah seorang penyedia jasa becak yang sudah iya kenal lama untuk mengatarkan
kami ke Loket travel tujuan Sumatera Barat, tepatnya menuju Desa kecil di
tepian Danau Singkarang, aku lebih setuju menyebutnya Nagari Malalo.
0 komentar: