Demanding Science to Minangkabau

03.21 Krisna Savindo 0 Comments


     Keputusan tanpa ada keraguan, membawa langkah untuk pergi menyebrangi lautan. Hal ini sudah cukup lama terjadi, lebih dari sembilan tahun yang lalu, Siang itu ku sebrangi lautan dengan kapal tercepat yang ada di pulau itu yang mampu menyebrangi lautan menuju pesisir pulau Sumatera tiga jam lamanya. Penyebrangan ini bukan pertama kali bagi ku, hanya saja penyebrangan sebelumnya sering menggunakan kapal yang jalannya malam, yang lama jarak tempuhnya selama kurang dari sembilan jam.

      Waktu kecil aku adalah orang yang sangat takut untuk naik mobil, mulai dari mobil angkutan umum maupun mobil pribadi yang mewah sekalipun, sebab ini permasalahan anak pulau yang perutnya sekan terguncang sehingga membuatnya mual, dan akan membuat isi perut yang telah di makan akan keluar, dengan bau yang sangat tidak sedap. Tapi jangan tanyakan untuk bepergian dengan kapal laut bahkan perahu kecil tidak sedikitpun mental ini akan urung untuk bergegas menantang badai. Tidak lama menunggu semua penumpang naik ke atas kapal terdengal suara trompet keras pertama kali sebagai tanda bahwa kapal akan bersiap untuk berangkat, menyusl trompet kapal yang kedua sebagai informasi bahwa kapal telah lepas dari dermaga.

     Perlahan dan pasti kapal mengatur arah untuk keluar dari dermaga, mundur untuk berputar meluruskan kepala kapal menuju lautan yang luas. Perlahan pula suara mesin kapal semakin kuat terdengar, tanda mesin-mesin kapal dihidupkan semua. kapalpun sudah membelakangi pulau kelahiran ku temapat aku tumbuh selama dua belas tahu. Ini adalah moment yang tidak akan ku lewatkan, aku beranjak dari kursi, ku tinggalkan ayahku yang duduk tenang di sampingku, aku menuju ke belakang kapal untuk naik ke bagian atap kapal agar aku bisa memandangi pulau keramat yang akan ku tinggalkan.

      Berdiri tegak membelakangi arah angin, menggenggam erat besi untuk aku bertumpu, kutatap dermaga yang kian mengecil dari pandangan ku, membuat pandanganku terhadap pulau dapat terliahat lebih luas, aku mencari-cari di mana kira-kira posisi rumahku yang akan ku tinggalkan. tekad yang kuad untuk pergi meninggalkan pulau sempat sepintas surut tanpa alasan yang jelas, namun  laut tak selamanya surut, tekad ini terus pasang hingga angin yang berhembus dari belakangku, membawa pikiranku pada sahabat-sahabat yang memilih untuk tetap di pulau keramat tersebut untuk tetap sekolah di sana, angin juga membawa ku kapda kejadian-kejadian yang telah kulalui selama ini, wajah-wajah mereka melitas lalu lalang dalam memori yang berkapasitas tidak terhingga yang masih banyak ruang kosongnya. tatapan ku terpaku terbawa susana saat itu, dibelai oleh angin yang tak terlihat namun dapat dirasakan, makluk tanpa wujud yang masuk ke pori-pori baju ku tanpa permisi, karena mereka yakin bahwa pemiliknya akan sangat nyaman dengan hal tersebut dan pasti akan mengizinkannya. 

     Ku biarkan mereka melawati sela-sela tubuhku, kurentangkan tangan merasakan nikmat alam ini, karena bagi ku angin adalah bagian dari penentu arah yang dapat membawa sebuah cita-cita sampai ke pelosok negri. Perlahan aku berpaling ke sumber angin ku biarkan merka menyerangku tanpa menghindar sedikitpun, kubiarkan mata ku terpejam dan pikaranku terus menjelajahi seluruh alam raya tak sedikitpun kubatasi biarlah terbang terbawa angin hingga  langit berubah berwarna orange.


     Pikiranpun mulai berjalan lambat dalam menjelajah, pejaman mataku mulai ku buka tanpa kusadari langit sudah tidak biru lagi warnanya berubah kemerahan, ternyata di belakangku matahari sudah mulai terbenam salasatu bentuk peristiwa alamiah yang terjadi. Diatur oleh Maha Manager yang tiada duanya di alam semesta ini, Dia Maha Programer yang tiada celah dan kelemahan, yang mampu membuat sistem prosedur dengan tatanan aturan dan ketentuan yang sistematis dan teratur, sayangnya sapai saat itu aku belum berjumpa dengannya.

      Senja itu menuntun kapal super cepat mendekati pesisir pulau Sumatera, orang-orang di dermaga itu menanti kami yang mulai mendekati dermaga, ku beritau bahwa mereka bukan para saudara yang ada dikapal ini yang ingin menjemput. mereka yang menunggu kami untuk turun dari kapal ini adalah para tukang becak, kuli angkat barang, para agen travel yang berharap semua orang akan menggunakan jasa mereka, karena mayoritas yang ada di kapal tersubut memiliki tujuan masing-masing yang tidak terhenti di kota dermaga tersebut. Dermaga atau Pelabuhan tersebut bernama Sambas, kotanya bernama Sibolga. Ayahanda yang sering berpergian hingga tidak dapat dihitung lagi sehingga memiliki pengalaman dan cara menikmatinya sendiri. Ayahanda tersebut memanggil salah seorang penyedia jasa becak yang sudah iya kenal lama untuk mengatarkan kami ke Loket travel tujuan Sumatera Barat, tepatnya menuju Desa kecil di tepian Danau Singkarang, aku lebih setuju menyebutnya Nagari Malalo.

0 komentar: