Pluralisme Relegion

15.10 Krisna Savindo 0 Comments

     Pluralisme adalah kosakata yang belakangan ini kembali hangat dibicarakan di mana-mana. Kian lama pluralisme semakin dikenal masyarakat luas, bukan hanya karena sering ditulis di mediamasa populer, melainkan juga karna gencar dikhutbahkan di masjid-masjid menjelang sholat berjamaah Jum‟at, majelis taklim, pengajian reguler, dan, pada kuliah-kuliah singkat. Popularitas dan hingar-bingar perbincangan pluralisme ini kembali muncul ke permukaan menyusul peristiwa-peristiwa kekerasan baik terhadap individu-individu berpikiran progresif maupun terhadap kelompok-kelompok penganut aliran atau agama minoritas.


 
     Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional, 29 Juli 2005, menjatuhkan vonis keagamaan bahwa pluralisme, liberalisme dan sekuralisme adalah paham yang sesat dan menyesatkan, dan oleh karena itu harus dilarang. Tiga terminologi ini kemudian disebut dengan ungkapan peyoratif dan sarkastis: SEPILIS, kependekan dari sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.

     Menanggapi masalah SEPILIS terkhusus dengan pluralisme yang divonis haram oleh MUI akan menimbulkan sejumlah pertanyaan yang muncul. Apakah agama, khususnya islam, kompetibel pluralisme? Apakah islam mengapresiasi kemajemukan dan keanekaragaman keyakinan dan kehendak manusia? Para ahli dan tokoh agama pada umumnya merespons pertanyaan-pertanyaan ini dengan jawaban yang positif. Mereka mengakui dan percaya bahwa kemajemukan atau keberagaman manusia. Perbedaan-perbedaan manusia dan alam semesta adalah realitas yang tidak mungkin dimunafikkan oleh apa pun dan siapa pun. Akan tettapi, pertanyaan berikutnya apakah dengan begitu, setiap orang memiliki hak yang sama untuk dihargai dan dihormati? Dengan kata lain lagi, apakah masing-masing orang dengan seluruh perbedaan alamiahnya, seperti etnisitas, ras, keyakinan agama, pemikiran jenis kelamin, politik, dan budaya, diberikan hak untuk mengekspresikan eksistensinya dalam ruang kehidupan bersama, di beri ruang waktu dengan perlakuan dan kedudukan yang sama di depan hukum dan perundang-undangan negara? Pertanyaan lain yang lebih partikular dan sederhana, apakah mengucapkan salam atau “selamat” pada hari raya keagamaan, Selamat Natal, Selamat Imlek itu dibolehkan? Pertanyaan-pertanyaan yang muncul menghadirkan jawaban-jawaban yang beragam dan kontrovesial sebagian kaum Muslimin mengatak boleh sebagian yang lain mengatakan tidak boleh bahkan haram justru sangat negatif dan juga terlihat antipati.

     Dalam tulisan ini, penulis akan lebih mengkonsentrasikan pembahasan pada pliralisme agama dan tinjauan pandangan Islam. Menurut Asghar Ali, pada dasarnya tujuan pluralisme adalah persaudaraan yang universal (universal brotherhood), kesetaraan (equality), dan keadilan sosial (sosial Justice).

     Menurut Amin Abdullah, dalam konteks keIndonesiaan terlepas dari sejarah besar Pluralisme. Kerukunan antara Umat beragama sangat penting dan sangat di butuhkan bagi bangsa yang majemuk dalam agama seperti halnya Indonesia. Keanekaragaman agama yang hidup di Indonesia termasuk dalamnya keanekaragaman paham keagaman yang ada di dalam tubuh intern umat beragama adalah merupakan kenyataan historis. Jika toleransi dalam beragama tidak ditegaskkan, maka negara atau bangsa tersebuat akan menghadapi bebagai konflik antara pemeluk masing-masing agama dan dapat menyebabkan disentegrasi. Untuk memberi perhatian khusus kepada masalah kerukunan antar umat beragama, harus di upayakan untuk memahami masalah yang sebenarnya agar dapat menemukan cara untuk menciptakan kerukunan itu (jiak belum ada), atau membutuhkan serta mengembangkan (jika telah ada). Ada beberapa ayat yang secara tegas mengatur pluralisme agama yang menyebutkannya dengan jelas. Selain ayat Al-Quran surat Al-Kafirun, ada satu ayat lagi yang tegas-tegas menyatakan bahwa agama tidak bisa di paksakan kepada seseorang, yaitu Al-Baqarah: 256 yang artinya : “ tidak ada paksaan untuk memasuki agama islam. Sesungguahnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah. Karna itu siapa yang ingkar kepada thagut, dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang kuat yang tidak akan putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”.

     Ayat di atas sebenarnya mengajarkan bahwa Allah telah menjelaskan mana yang benar dan mana yang salah, atau lebih tegasnya mana agama yang benar dan mana agama yang tidak benar (yang dalam Al-Qur‟an disebut ajaran Thagut). Sesungguhnya misi islam yang paling besar adalah pembebasan. Dalam konteks dunia modern, ini berarti Islam harus membebaskan manusia dari kurungan aliran pikiran dan filsafat yang menganggap manusia tidak mempunyai kemerdekaan, demikian menurut Kuntowijoyo. Dengan visi teologis semacam itu, islam sesungguhnya menyediakan basis filsafat Untuk mengisi kehampaan spritual yang merupakan produk dunia modern.

     Dari kacamata Islam, kemajemukan adalah sunnatullah (hukum alam). Masyarakat yang majemuk ini tentu memiliki budaya dan aspirasi yang beraneka, tetapi mereka seharusnya memiliki kedudukan yang sama, tidak ada superioritas antara satu suku, etnis atau kelompok sosial dengan lainnya. Mereka juga memiliki hak yang sama untuk bepartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Namun kadang-kadang perbedaan ini menimbulkan konflik di antara mereka. Maka sebuah upaya untuk mengatasi permasalahan ini dimunsculkan konsep atau paham kemajmukan (pluralisme).

     Kata pluralisme terdiri dari dua suku kata yaitu Plural yang berarti jamak; lebih dari satu,9 dan isme sufik pembentuk nomina sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, pluralisme berarti keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya).

     Dalam kaitannya dengan pluralisme, islam sangat menekankan pada dua aspek dasar, yaitu :
1. Kesatuan manusia (unity of mankind)
2. Keadilan di sumua aspek kehidupan.
Keadilan ini tidak akan tercipta tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah dan marjinal dari penderitaan, serta memberi kesempatan kepada mereka untuk menjadi pemimpin. Menurut pendapat Muhammad Quttub, Islam memberikan hak-hak yang penting terhadap semua orang tanpa perbedaan apapun. Islam menyatukan semua jenis karena pada hakikatnya mereka sama-sama manusia dan juga menjamin kebebasan mutlak untuk memilih agama di bawah penjagaan dan perlindungannya.

     Selanjutnya harus disadari juga tentang kerelatifan suatu pandangan theologis. Pandangan seseorang tentang pemahamannya mengenai suatu agama, tentunya akan diakui orang yang bersangkutan sebagai yang paling tepat dan paling benar mengenai agama itu.13 Tetapi, sebagai entitas mengenai entitas yang lain, maka tidak masuk akal untuk melihat keduanya sebagai yang sama dan bisa saling tukar. Jadi, pemahaman seseorang atau kelompok tentang suatu agama bukanlah berarti senilai dengan agama itu sendiri.

      Hubungan antara agama Kristen dan agama-agama lain merupakan salah satu persoalan pokok dalam pemahaman diri orang kristen. Menurut pendapat Stanley Smartha sendirin yang dibesarkan dan hidup di India dimana orang kristen merupakan minoritas kecil di tengah-tengah budaya hindu yang dominan, komitmen Kristen yang sejati, katanya, bergantung pada inti iman tanpa menutup diri terhadap lingkungan disekitarnya. Beberapa pintu harus dibiarkan terbuka agar angin segar yang dihembuskan Roh Kudus dapat masuk kedalam rumah Kristen, kadang-kadang dari arah yang tak terduga. Menurut Samartha, masalahnya ialah orang-orang Kristen terus-menerus salah mengartikan keterbukaan dengan kenisbian semata-mata atau sikap netral. Kembali di tegaskan untuk mengakui fakta Pluralisme agama, sebagai mana Allah mengambil resiko dengan menjadi manusia, demikian pun orang-orang kristen tidak boleh takut hidup di tengah-tengah pluralisme agama.

    Kita tinjau juga agama Hindu yang memiliki sejarah panjang juga, sikap agama hindu terhadap agama-agama lain selalu tetap. Ada satu realitas ilahi yang mewujudkan dirinya dalam banyak bentuk. Bermacam-macam agama merupakan pewahyu-pewahyuan yang berbeda dari satu realitas ilahi itu. Dalam pengakuan-pengakuannya terhadap agama-agama lain sebagai wahyu-wahyu berbeda dari yang satu dan sebagai penyediaan jalan-jalan berbeda yang dengannya kaum beriman dapat mencapai pembebasan dari karma-samara ini, agama hindu melihat dirinya sendiri sebagai agama yang sangat terbuka dan toleran. Namun karna agama Hindu menegaskan Veda merupakan wahyu yang paling sempurna dari kebenaran ilahi, maka agama Hindu juga melihat dirinya sebagai pemberi kriteria yang harus di gunakan sebagai dasar untuk menguji wahyu-wahyu dari agama lain.

     Sikap toleransi kritis dan kesedian untuk menyesuaikan diri mewarnai agama Budha sepanjang masa. Dari reaksi Gotama sang Budha, terhadap bermacam keyakinan di sekitarnya, sampai denga perkembangannya di Cina dan Tibet, sikap terbuka namun kokoh inilah yang menonjol.

     Dari sedikit kutipan yang dapat di ambil dari beberapa agama mengenai Pluralisme sangat terlihat adanya harapan antara umat beragama memposisikan diri dalam pada pluralisme sendiri. Secara garis besar pengertian konsep pluralisme meminjam definisi yang dikemukakan oleh Alwi Shihab dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajmukan. Nasmun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajmukan. Pluralisme agama dapat kita jumpai di mana-mana. Di dalam masyarakat tertentu, di kantor tempat orang bekrja. Tetapi seseorang dikatakan menyandang sifat tersebut apa bila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan katalain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama di tuntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna terciptanya kerukunan, dalam kebinekaan.

2. Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk kepada suatu realita di mana anekaragam agama, ras bangsa hidup berdampingan disuatu lokasi. Sebagai contoh adalah kota New York. Kota ini adalah kota kosmopolitan, di kota ini terdapat orang Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha, bahkan orang-orang yang tanpa agama sekalipun. Seakan seluruh penduduk dunia berada di kota ini. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di bidang agama sangat minimal kalaupun ada.
 
3. Konsep pluralisme tidak dapat di samakan dengan relativisme. Seorang relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau “nilai” di tentuakan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang dan masyarakatnya.

    Sebagai konsekwensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apapun harus di nyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama”, karna kebenaran agama-agama, walau berbeda-beda dan bertentangan satu dengan lainnya, tetapi harus di terima. Suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan sepanjang masa. Namun yang menjadi persoalan adalah manusia memiliki karakter yang berbeda-beda, dan ketika dalam sosial praksis akan menimbulkan dampak pada perubahan sosial.

     Teggart menegaskan perubahan sosial muncul dari perbenturan berbagai kelompok dari habitat yang berbeda-beda dan oleh karnanya memiliki sistem ide yang berbeda. Jika teggart mengasumsikan bahwa sejarah manusia hanya merekam sejumlah kecil situasi pluralistik yang stabil (yakni, sebuah habitat dengan beragam sistem ide), maka dia sangat mungkin benar.

     Menurut Iqnas Kleden, dikotomi yang dibuat sementara oleh pisikologi agama, antara agama sebagai agama, agama sebagai yang di hayati dalam kesadaran penganutnya, barangkali tidakakan diperhatikan dalam tulisan ini. Sebab bagai manapun agama sebagai entitasabstrak yang di lepaskan sama sekali dari kenyataan bagai mana dia dihayati menjadi sangat sulit di bayangkan. Sedangkan, bila agama di lihat sebagai suatu relitas manusiawi yang muncul sebagai akibat pergulatan manusia dengan seluruh lingkungannya yang berarti bahwa agama adalah suatu hasil kebudayaan juga, maka pengandaian agama sebagai entitas abstrak, adalah suatu pengandaian yang secara metodologis tidak berguna. Dengan itu dapat di katakan bahwa filsafat yang melihat agama secara ontologis tidak akan banyak membantu, mencari kemungkinan dialog antar agama. Sebab, ontologi lebih berhubungan dengan subtasnsi, unsur yang berdiri sendiri, yang berbedab dan tak tergantung kepada unsur lain, yang menyebabkan suatu itu ada dasar dirinya. Ontologi Justru mengandaikan dan menekankan distansi dan esensi yang mutlak dan karna itu ontologi merupakan otonomi yang tertutup.