Pluralisme Relegion
Pluralisme
adalah kosakata yang belakangan ini kembali hangat dibicarakan di mana-mana.
Kian lama pluralisme semakin dikenal masyarakat luas, bukan hanya karena sering
ditulis di mediamasa populer, melainkan juga karna gencar dikhutbahkan di
masjid-masjid menjelang sholat berjamaah Jum‟at, majelis taklim, pengajian
reguler, dan, pada kuliah-kuliah singkat. Popularitas dan hingar-bingar
perbincangan pluralisme ini kembali muncul ke permukaan menyusul
peristiwa-peristiwa kekerasan baik terhadap individu-individu berpikiran
progresif maupun terhadap kelompok-kelompok penganut aliran atau agama
minoritas.
Majelis
Ulama Indonesia (MUI), dalam Musyawarah Nasional, 29 Juli 2005, menjatuhkan
vonis keagamaan bahwa pluralisme, liberalisme dan sekuralisme adalah paham yang
sesat dan menyesatkan, dan oleh karena itu harus dilarang. Tiga terminologi ini
kemudian disebut dengan ungkapan peyoratif dan sarkastis: SEPILIS, kependekan
dari sekularisme, pluralisme, dan liberalisme.
Menanggapi
masalah SEPILIS terkhusus dengan pluralisme yang divonis haram oleh MUI akan
menimbulkan sejumlah pertanyaan yang muncul. Apakah agama, khususnya islam, kompetibel
pluralisme? Apakah islam mengapresiasi kemajemukan dan keanekaragaman
keyakinan dan kehendak manusia? Para ahli dan tokoh agama pada umumnya
merespons pertanyaan-pertanyaan ini dengan jawaban yang positif. Mereka
mengakui dan percaya bahwa kemajemukan atau keberagaman manusia.
Perbedaan-perbedaan manusia dan alam semesta adalah realitas yang tidak mungkin
dimunafikkan oleh apa pun dan siapa pun. Akan tettapi, pertanyaan berikutnya
apakah dengan begitu, setiap orang memiliki hak yang sama untuk dihargai dan
dihormati? Dengan kata lain lagi, apakah masing-masing orang dengan seluruh
perbedaan alamiahnya, seperti etnisitas, ras, keyakinan agama, pemikiran jenis
kelamin, politik, dan budaya, diberikan hak untuk mengekspresikan eksistensinya
dalam ruang kehidupan bersama, di beri ruang waktu dengan perlakuan dan
kedudukan yang sama di depan hukum dan perundang-undangan negara? Pertanyaan
lain yang lebih partikular dan sederhana, apakah mengucapkan salam atau
“selamat” pada hari raya keagamaan, Selamat Natal, Selamat Imlek itu
dibolehkan? Pertanyaan-pertanyaan yang muncul menghadirkan jawaban-jawaban yang
beragam dan kontrovesial sebagian kaum Muslimin mengatak boleh sebagian yang
lain mengatakan tidak boleh bahkan haram justru sangat negatif dan juga
terlihat antipati.
Dalam
tulisan ini, penulis akan lebih mengkonsentrasikan pembahasan pada pliralisme agama
dan tinjauan pandangan Islam. Menurut Asghar Ali, pada dasarnya tujuan
pluralisme adalah persaudaraan yang universal (universal brotherhood),
kesetaraan (equality), dan keadilan sosial (sosial Justice).
Menurut
Amin Abdullah, dalam konteks keIndonesiaan terlepas dari sejarah besar
Pluralisme. Kerukunan antara Umat beragama sangat penting dan sangat di
butuhkan bagi bangsa yang majemuk dalam agama seperti halnya Indonesia.
Keanekaragaman agama yang hidup di Indonesia termasuk dalamnya keanekaragaman
paham keagaman yang ada di dalam tubuh intern umat beragama adalah merupakan kenyataan
historis. Jika toleransi dalam beragama tidak ditegaskkan, maka negara atau
bangsa tersebuat akan menghadapi bebagai konflik antara pemeluk masing-masing
agama dan dapat menyebabkan disentegrasi. Untuk memberi perhatian khusus kepada
masalah kerukunan antar umat beragama, harus di upayakan untuk memahami masalah
yang sebenarnya agar dapat menemukan cara untuk menciptakan kerukunan itu (jiak
belum ada), atau membutuhkan serta mengembangkan (jika telah ada). Ada beberapa
ayat yang secara tegas mengatur pluralisme agama yang menyebutkannya dengan
jelas. Selain ayat Al-Quran surat Al-Kafirun, ada satu ayat lagi yang
tegas-tegas menyatakan bahwa agama tidak bisa di paksakan kepada seseorang,
yaitu Al-Baqarah: 256 yang artinya : “ tidak ada paksaan untuk memasuki
agama islam. Sesungguahnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang
salah. Karna itu siapa yang ingkar kepada thagut, dan beriman kepada Allah,
maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada tali yang kuat yang tidak akan
putus. Dan Allah maha mendengar lagi maha mengetahui”.
Ayat
di atas sebenarnya mengajarkan bahwa Allah telah menjelaskan mana yang benar
dan mana yang salah, atau lebih tegasnya mana agama yang benar dan mana agama
yang tidak benar (yang dalam Al-Qur‟an disebut ajaran Thagut). Sesungguhnya
misi islam yang paling besar adalah pembebasan. Dalam konteks dunia modern, ini
berarti Islam harus membebaskan manusia dari kurungan aliran pikiran dan
filsafat yang menganggap manusia tidak mempunyai kemerdekaan, demikian menurut Kuntowijoyo.
Dengan visi teologis semacam itu, islam sesungguhnya menyediakan basis filsafat
Untuk mengisi kehampaan spritual yang merupakan produk dunia modern.
Dari
kacamata Islam, kemajemukan adalah sunnatullah (hukum alam). Masyarakat
yang majemuk ini tentu memiliki budaya dan aspirasi yang beraneka, tetapi
mereka seharusnya memiliki kedudukan yang sama, tidak ada superioritas antara
satu suku, etnis atau kelompok sosial dengan lainnya. Mereka juga memiliki hak
yang sama untuk bepartisipasi dalam kehidupan sosial dan politik. Namun
kadang-kadang perbedaan ini menimbulkan konflik di antara mereka. Maka sebuah
upaya untuk mengatasi permasalahan ini dimunsculkan konsep atau paham
kemajmukan (pluralisme).
Kata
pluralisme terdiri dari dua suku kata yaitu Plural yang berarti jamak;
lebih dari satu,9 dan isme sufik pembentuk nomina sistem kepercayaan
berdasarkan politik, sosial, atau ekonomi. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, pluralisme berarti keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan
dengan sistem sosial dan politiknya).
Dalam
kaitannya dengan pluralisme, islam sangat menekankan pada dua aspek dasar,
yaitu :
1.
Kesatuan manusia (unity of mankind)
2.
Keadilan di sumua aspek kehidupan.
Keadilan
ini tidak akan tercipta tanpa membebaskan golongan masyarakat lemah dan
marjinal dari penderitaan, serta memberi kesempatan kepada mereka untuk menjadi
pemimpin. Menurut pendapat Muhammad Quttub, Islam memberikan hak-hak yang
penting terhadap semua orang tanpa perbedaan apapun. Islam menyatukan semua
jenis karena pada hakikatnya mereka sama-sama manusia dan juga menjamin
kebebasan mutlak untuk memilih agama di bawah penjagaan dan perlindungannya.
Selanjutnya
harus disadari juga tentang kerelatifan suatu pandangan theologis. Pandangan
seseorang tentang pemahamannya mengenai suatu agama, tentunya akan diakui orang
yang bersangkutan sebagai yang paling tepat dan paling benar mengenai agama
itu.13 Tetapi, sebagai entitas mengenai entitas yang lain, maka tidak masuk
akal untuk melihat keduanya sebagai yang sama dan bisa saling tukar. Jadi,
pemahaman seseorang atau kelompok tentang suatu agama bukanlah berarti senilai
dengan agama itu sendiri.
Hubungan
antara agama Kristen dan agama-agama lain merupakan salah satu persoalan pokok
dalam pemahaman diri orang kristen. Menurut pendapat Stanley Smartha sendirin
yang dibesarkan dan hidup di India dimana orang kristen merupakan minoritas
kecil di tengah-tengah budaya hindu yang dominan, komitmen Kristen yang sejati,
katanya, bergantung pada inti iman tanpa menutup diri terhadap lingkungan
disekitarnya. Beberapa pintu harus dibiarkan terbuka agar angin segar yang
dihembuskan Roh Kudus dapat masuk kedalam rumah Kristen, kadang-kadang dari
arah yang tak terduga. Menurut Samartha, masalahnya ialah orang-orang Kristen
terus-menerus salah mengartikan keterbukaan
dengan kenisbian semata-mata atau sikap netral. Kembali di tegaskan untuk
mengakui fakta Pluralisme agama, sebagai mana Allah mengambil resiko dengan
menjadi manusia, demikian pun orang-orang kristen tidak boleh takut hidup di
tengah-tengah pluralisme agama.
Kita
tinjau juga agama Hindu yang memiliki sejarah panjang juga, sikap agama hindu
terhadap agama-agama lain selalu tetap. Ada satu realitas ilahi yang mewujudkan
dirinya dalam banyak bentuk. Bermacam-macam agama merupakan pewahyu-pewahyuan
yang berbeda dari satu realitas ilahi itu. Dalam pengakuan-pengakuannya
terhadap agama-agama lain sebagai wahyu-wahyu berbeda dari yang satu dan
sebagai penyediaan jalan-jalan berbeda yang dengannya kaum beriman dapat
mencapai pembebasan dari karma-samara ini, agama hindu melihat dirinya
sendiri sebagai agama yang sangat terbuka dan toleran. Namun karna agama Hindu
menegaskan Veda merupakan wahyu yang paling sempurna dari kebenaran ilahi, maka
agama Hindu juga melihat dirinya sebagai pemberi kriteria yang harus di gunakan
sebagai dasar untuk menguji wahyu-wahyu dari agama lain.
Sikap
toleransi kritis dan kesedian untuk menyesuaikan diri mewarnai agama Budha
sepanjang masa. Dari reaksi Gotama sang Budha, terhadap bermacam keyakinan di
sekitarnya, sampai denga perkembangannya di Cina dan Tibet, sikap terbuka namun
kokoh inilah yang menonjol.
Dari
sedikit kutipan yang dapat di ambil dari beberapa agama mengenai Pluralisme
sangat terlihat adanya harapan antara umat beragama memposisikan diri dalam
pada pluralisme sendiri. Secara garis besar pengertian konsep pluralisme
meminjam definisi yang dikemukakan oleh Alwi Shihab dapat dijelaskan sebagai
berikut :
1.
Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajmukan.
Nasmun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan
kemajmukan. Pluralisme agama dapat kita jumpai di mana-mana. Di dalam
masyarakat tertentu, di kantor tempat orang bekrja. Tetapi seseorang dikatakan
menyandang sifat tersebut apa bila ia dapat berinteraksi positif dalam
lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan katalain, pengertian pluralisme agama
adalah bahwa tiap pemeluk agama di tuntut bukan saja mengakui keberadaan dan
hak agama lain, tetapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan
guna terciptanya kerukunan, dalam kebinekaan.
2.
Pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Kosmopolitanisme menunjuk
kepada suatu realita di mana anekaragam agama, ras bangsa hidup berdampingan
disuatu lokasi. Sebagai contoh adalah kota New York. Kota ini adalah kota
kosmopolitan, di kota ini terdapat orang Yahudi, Kristen, Muslim, Hindu, Budha,
bahkan orang-orang yang tanpa agama sekalipun. Seakan seluruh penduduk dunia
berada di kota ini. Namun interaksi positif antar penduduk ini, khususnya di
bidang agama sangat minimal kalaupun ada.
3.
Konsep pluralisme tidak dapat di samakan dengan relativisme. Seorang
relativisme akan berasumsi bahwa hal-hal yang menyangkut “kebenaran” atau
“nilai” di tentuakan oleh pandangan hidup serta kerangka berpikir seseorang dan
masyarakatnya.
Sebagai
konsekwensi dari paham relativisme agama, doktrin agama apapun harus di
nyatakan benar. Atau tegasnya “semua agama adalah sama”, karna kebenaran
agama-agama, walau berbeda-beda dan bertentangan satu dengan lainnya, tetapi
harus di terima. Suatu kebenaran universal yang berlaku untuk semua dan
sepanjang masa. Namun yang menjadi persoalan adalah manusia memiliki karakter
yang berbeda-beda, dan ketika dalam sosial praksis akan menimbulkan dampak pada
perubahan sosial.
Teggart
menegaskan perubahan sosial muncul dari perbenturan berbagai kelompok dari
habitat yang berbeda-beda dan oleh karnanya memiliki sistem ide yang berbeda.
Jika teggart mengasumsikan bahwa sejarah manusia hanya merekam sejumlah kecil
situasi pluralistik yang stabil (yakni, sebuah habitat dengan beragam sistem
ide), maka dia sangat mungkin benar.
Menurut
Iqnas Kleden, dikotomi yang dibuat sementara oleh pisikologi agama, antara
agama sebagai agama, agama sebagai yang di hayati dalam kesadaran penganutnya,
barangkali tidakakan diperhatikan dalam tulisan ini. Sebab bagai manapun agama
sebagai entitasabstrak yang di lepaskan sama sekali dari kenyataan bagai mana
dia dihayati menjadi sangat sulit di bayangkan. Sedangkan, bila agama di lihat
sebagai suatu relitas manusiawi yang muncul sebagai akibat pergulatan manusia
dengan seluruh lingkungannya yang berarti bahwa agama adalah suatu hasil
kebudayaan juga, maka pengandaian agama sebagai entitas abstrak, adalah suatu
pengandaian yang secara metodologis tidak berguna. Dengan itu dapat di katakan
bahwa filsafat yang melihat agama secara ontologis tidak akan banyak membantu,
mencari kemungkinan dialog antar agama. Sebab, ontologi lebih berhubungan
dengan subtasnsi, unsur yang berdiri sendiri, yang berbedab dan tak tergantung
kepada unsur lain, yang menyebabkan suatu itu ada dasar dirinya. Ontologi
Justru mengandaikan dan menekankan distansi dan esensi yang mutlak dan karna
itu ontologi merupakan otonomi yang tertutup.