Memutus Elegi Pagaruyung

15.10 Krisna Savindo 0 Comments

     Hari itu Rabu 22 Juli 1818, Thomas Stamford Raffles, melakukan expedisi budaya ke Pagaruyung, di pedalaman Sumatera. Menurut catatan sejarah dia menyaksikan reruntuhan Istana Pagaruyung diantara rumpun tebu dan pohon beringin tua di nagari Saruaso, di tepi Sungai Ameh, di punggung Bukit Barisan. 

     Thesis ini menahan diri untuk tidak terperangkap oleh logika sebab-akibat dalam konteks Perang Paderi yang telah melantunkan "elegi Pagaruyung" sepanjang sejarah negeri Minangkabau.


     Pagaruyung, kerajaan legendaris Hindu-Melayu, pernah diperintah oleh Bundokandung, seorang wanita bijaksana dan visioner, yang  konon pernah tinggal, malang-melintang di kerajaan Mojopahit. Maharatu Bundokandung dipercaya telah mewariskan budaya matriarkat, suatu sistem kekerabatan berbasis garis keturunan dari ibu ke anak perempuan di seantero negeri Minangkabau.

     Apakah matriarkat dapat dirujuk kepada Al-Quran?  Ya, orang Minang berlatar alam  Minangkabau menjawab pertanyaan. Logika akal bertaut dengan kecerdasan iman dalam kemerdekaan berpikir, akan menemukan kebenaran yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Quran sepanjang nilai-nilai luhur Rahmatanlilalamin.

     Matriarkat ibarat  sirih dalam carano tua di anjungan rumah gadang. Carano makin berlumut. Sirih tumbuh subur di halaman. Ketika makan sirih dilabel "haram", sirih tetap ada dan exist dalam carano adat. Itulah matriarkat.

     Selama lebih satu abad setelah Perang Paderi, perempuan Minangkabau, titisan Bundokandung, bergulat mempertahankan tradisi Matriarkat Pagaruyung sebagai pemegang "tuah", atau kata akhir, bilamana institusi rumah dan sawah dibicarakan.

    Jeffrey Hadler dalam bukunya "Sengketa Tiada Putus" menimbang kontribusi disproporsional orang Minangkabau terhadap politik nasional Indonesia, khususnya diawal kemerdekaan. Sebutlah Hamka, Muhammad Hatta, Tan Malaka,  Muhamad Natsir, Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim, dan tokoh-tokoh lainnya. Mereka adalah anak-anak bangsa yang lahir dari lingkungan matriarkat yang survive mempertanyakan sekalipun kebenaran sakral, apalagi kalau hanya kebenaran formal. Itulah menu dialektika sehari-hari "lapau" demokrasi di Ranah Minang.

     Ketika dua bentuk kebenaran itu dipertanyakan, pada hakekatnya orang Minang sedang berkontemplasi, merenung nasib, menerawang angan untuk membangun masa depan.

     Ketika Islam nan Rahmatanlilalamin memotivasi menuntut ilmu dengan berguru sampai ke negeri Cina, orang muda di Ranah Minang menjadikan alam terkembang sebagai guru.
Karena guru harus dicari maka alam harus dijelajah. Ranah ditinggal - Rantau dijelang. 

     Tradisi merantau sejenak menemukan pembenaran filosofis pada akhir pemberontakan "Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia" (PRRI). Bukankah alam mengajarkan ketika biji nangka diinjak, ia akan melanting dan tumbuh ditempat lain. 

     Pagaruyung sudah lama berlalu. Zaman silih berganti. Bahkan konsep merantau pun mulai redup bersamaan dengan datangnya era globalisasi. Kini, ada kerinduan untuk menyusun kembali Sunting Bundokandung, dan memutus nyanyian sedih Negeri Minangkabau.

     Suatu "Benteng Matriarkat Minangkabau"  (BMM), akan dengan sadar menyusuri garis-garis matrilineal dan bertekad mengembalikan kejayaan Ranah Minangkabau dibawah duli Bundokandung demi memperkaya ke-Bhineka-an Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

      Matriarkat yang tak kunjung padam dan Islam  nan Rahmatanlilalamin hendak dipersandingkan dalam ke-Istimewa-an Ranah Minangkabau.

     Dan kini, menjelang dua abad  setelah Thomas Stamford Raffles berkunjung ke Pagaruyung, Bundokandung akan didaulat kembali memegang "tuah kemuliaan matriarkat", yang merupakan simbol kearifan abadi, "nan indak lakang dek paneh, nan indak lapuak dek hujan", dengan gelar :
"Bundo kandung Limpapeh Rumah Nan Gadang Daulat Ranah
Minangkabau".

     Bundo kandung akan dipilih oleh  suatu "Lembaga Permusyawaratan Adat Alam Minangkabau" sesuai tradisi masyarakat matriarkat Minangkabau.

     Bundo kandung akan bertahta di  Rumah Gadang, di Bukittinggi, kota yang pernah  menjadi Pusat Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari Desember 1948 sampai Juli 1949.

     Bundo kandung dan Rumah Gadang bukan merupakan lembaga pemerintahan dalam Propinsi Sumatera Barat melainkan suatu lembaga adat, simbol kearifan lokal yang berfungsi sebagai pelindung, penjaga dan pelestari nilai-nilai adat dan budaya Minangkabau.

     Konsepsi Bundokandung dan Rumah Gadang merupakan kelanjutan logika sejarah budaya  Negeri Minangkabau khususnya Kerajaan dan Istana Pagaruyung. Hubungan antar "tuah" Bundokandung, Rumah Gadang, dengan Keluarga dan Istana Pagaruyung akan disusun dan ditetapkan oleh "Lembaga Permusyawaratan Adat Alam Minangkabau".

     Sementara itu, Gubernur  dan Wakil Gubernur serta DPRD Propinsi Sumatera Barat sebagai pelaksana pemeritahan daerah sehari-hari  tetap akan dipilih sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dan berkedudukan di kota Padang.

     Dengan demikian Propinsi Sumatera Barat akan berubah menjadi suatu "Daerah Istimewa atau Daerah Khusus Ranah Minangkabau" dimana justifikasi atas eksistensinya ada pada citarasa pelangi ke-Bhinekaan-an Negara Kesatuan Republik Indonesia.

     Dengan memutus elegi Pagaruyung akan terkuak potensi budaya yang selama ini terpendam, yang pada gilirannya akan merambah ke ekonomi kreatif. Dan kelak generasi yang akan datang berkata "RANAH MINANGKABAU WELCOMES THE WORLD".


di tulis oleh :  Mizwar Jalaluddin 
pendidikan : 
1. Hubungan Internasional, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1976.
2. Foreign Service Course, Canberra, Australia, 1979.
3. International Security Course, Christian Albert University, Kiel, Germany,1984.
4. University of Oxford Diplomatic Studies, St. Peter's College, UK, 1988     


0 komentar: